Jokowi memang tak menyebutkan agenda besar politik atau tokoh besar politik di balik kasus dugaan ijazah palsu dan pemakzulan itu adalah SBY atau Demokrat.
Tapi mendengarkan perkataan para loyalisnya, terutama Sylvester Matutina dan Ade Darmawan, jelas sekali itu diarahkan kepada SBY dan Demokrat.
Istilah “Partai Biru”, “Matahari Kembar”, dan anaknya ingin menggantikan posisi Wapres, jelas sekali itu mengarah kepada SBY atau Demokrat.
Bahkan, gerak bahu Jokowi saat mengatakan tokoh besar itu juga bisa diartikan, “tokoh berbadan besar”, yakni SBY.
Jokowi dan SBY dalam banyak hal memang sama. Sama-sama Presiden yang dipilih langsung selama dua periode.
Belum ada Presiden setelah reformasi yang seperti Jokowi dan SBY. Ada Habibie, Gus Dur, dan Megawati, tapi ketiganya selain tak dipilih langsung, satu periode pun tidak penuh, apalagi dua periode.
Prabowo juga dipilih langsung, tapi belum setahun, apalagi dua periode. Jokowi dan SBY juga sama-sama mewariskan karir politiknya pada anaknya, seperti juga Megawati. Ketiganya saling membayangi politik kita.
Seperti Jokowi yang tak mungkin mengatakan sesuatu yang sembarangan, loyalisnya seperti Ade Darmawan dan Sylvester Matutina tentu juga menyebutkan kriteria sesuatu yang mengarah kepada SBY dan Demokrat, tak asal mengatakan saja. Sudah dituntun.
Meski sudah dibantah anaknya, Kaesang Pangarep, bahwa bapaknya, Jokowi, tak ada menyebutkan nama SBY atau Demokrat, tapi hal itu tak bisa serta merta dihilangkan begitu saja.
Itu hanya usaha untuk memperbaiki panggung depan agar tak terlalu vulgar. Sementara panggung belakang sedang berkecamuk hebat.
Meskipun Jokowi dan SBY banyak kesamaannya, tapi perbedaannya juga nyata.
SBY punya rasa malu, segan, dan sikap sejenis itu yang cukup besar dan dijaga betul, ketika ia berkuasa. SBY menggunakan tangan-tangan kekuasaannya tak terlalu vulgar.
Berkebalikan dengan Jokowi. Jokowi terlalu vulgar dalam banyak hal. Terlalu kasat mata. AHY saja baru dipersilahkan maju calon gubernur Jakarta, setelah SBY tak lagi menjabat. Itupun kalah.
Gibran maju calon walikota, di kampungnya pula, persis saat Jokowi sedang berkuasa dan kuat-kuatnya.
Jokowi tidak saja mempersilakan anaknya Gibran maju calon wakil presiden saat ia berkuasa tapi juga majunya Gibran itu didahului oleh perubahan syarat pencapresan yang begitu dramatis.
SBY yang juga mewariskan partai yang didirikannya untuk anaknya, tapi ia tak terpikirkan seperti yang dilakukan oleh Jokowi. Bahkan, hampir saja Kaesang mengikuti langkah yang sama seperti yang ditempuh Gibran.
Untung saja gagal karena didemo, termasuk konon oleh tangan-tangan Prabowo. Jokowi benar-benar memaksimalkan kekuasaannya tak sama dengan SBY.
Jadi, rasanya, tak mungkin SBY atau Demokrat berada di balik isu ijazah palsu dan pemakzulan, demi anaknya AHY, menjadi Wapres menggantikan Gibran, anaknya Jokowi. Itu terlalu vulgar dan mustahil SBY-Demokrat memainkan politik sevulgar itu.
Jangankan politik lewat belakang seperti itu, lewat samping saja SBY-Demokrat tidak mau. Kecuali, ada motif balas dendam politik di balik itu.
Motif balas dendam politik masih bisa karena di era Jokowi-lah Partai Demokrat hampir diambil alih oleh anak buah Jokowi dan Jokowi terlihat berada di belakangnya.
Tapi, kalau motifnya balas dendam politik, yang paling dekat justru bukan SBY atau Demokrat. Melainkan PDIP atau Megawati. Bahkan Beathor Suryadi yang jelas-jelas terlibat dalam isu dugaan ijazah palsu Jokowi adalah politisi senior PDIP.
Kenapa bukan PDIP atau Megawati yang dituduh Jokowi dan orang-orangnya di balik isu ijazah palsu dan pemakzulan itu? Kenapa harus SBY atau Demokrat yang dituduh?
Padahal setelah bergabung dengan koalisi Prabowo tak terlihat lagi manuver sendiri dilancarkan SBY-Demokrat. Dan bukankah sejak awal yang dituduh itu pihak yang kalah pilpres, bukan yang menang? Kok lari ke SBY-Demokrat?
Bisa jadi Jokowi sedang menghitung ulang kekuatan sekaligus lawan politiknya. Kalau PDIP atau Megawati hampir pasti berada di sisi yang berlawanan. Bahkan, PSI dan perubahan logo serta slogannya seperti niat betul ingin menggerogoti PDIP.
Sementara di sisi yang bersamaan, siapa lagi yang harus diwaspadai kalau bukan SBY atau Demokrat. Selain punya partai, ia juga punya putra mahkota, yakni AHY. Ditandingkan dengan Gibran, rasanya jauh.
Tapi pemilih punya seleranya sendiri pula. AHY-Demokrat lebih berpeluang menarik hati Prabowo ketimbang Gibran-PSI. Tapi rasanya Jokowi terlalu pagi menyerang SBY atau Demokrat terkait isu ijazah palsu dan pemakzulan.