Minggu kemarin, saya asyik makan se’i babi di warung kecil langganan saya, ketika tidak sengaja mencuri dengar tiga bapak menggerutu dan mengumpat di meja sebelah.
“Kamu tahu?” suara si bapak berkumis lebat membuka percakapan, “Ketua DPRD dan para anggotanya minta naik tunjangan lagi. Jumlahnya bukan main-main, ratusan persen! Provinsi ini sudah miskin, rakyat makin susah, eh, mereka masih tega-teganya minta tambah tunjangan.”
Mereka tertawa pendek, tawa getir yang lebih mirip batuk tertahan.
Bapak kedua menimpali, “Kalian tahu, TPP kami sebagai guru sangat kecil. Itu pun hampir selalu dibayar terlambat. Alasannya sama terus: Pendapatan Asli Daerah rendah, keuangan sulit, sabarlah. Tapi begitu giliran DPRD, kok tiba-tiba bisa usulkan kenaikan tunjangan ratusan persen dan mudah sekali disetujui? Padahal gaji dan tunjangan yang ada sudah sangat besar.”
Rupanya bapak kedua itu seorang guru, sama seperti saya. Lantas saya mengakui ironi itu. Guru yang mendidik generasi bangsa justru dianaktirikan, sementara yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, termasuk kepentingan guru, malah sibuk memperbesar porsi kepentingan perut sendiri.
Bapak yang terakhir akhirnya ikut menimpali. “Naik tunjangan atau tidak, mereka itu sudah lama jadi beban rakyat. Tidak tahu diri dan tidak tahu malu! Lihat saja kinerja mereka, apa yang bisa dibanggakan? Nol besar! Mereka hanya pandai berkotek untuk hal yang kasuistis. Ribut sebentar, lalu hilang. Demi citra pribadi semata, padahal dibungkus kemunafikan dan kerakusan, dan juga ketakutan untuk membongkar perilaku koruptif. Saya jarang mendengar mereka bicara soal sistem yang jelas untuk memperbaiki provinsi. Yang ada hanya drama politik kecil-kecilan untuk soal-soal yang dilihat secara kasuistik saja, seperti tikus yang ribut karena berebut butiran padi…”
…“Yang lebih parah,” lanjut bapak kedua, “mereka tidak mampu membangun sistem. Itu sebabnya provinsi ini selalu dilabeli miskin dan korup. Lemah dalam manajemen, lemah dalam pengawasan. Bukankah seharusnya DPRD bisa menciptakan sistem nilai dan sistem kerja yang jadi teladan? Tapi lihatlah kenyataannya. Mereka sendiri adalah beban rakyat yang ikut berkontribusi pada kemiskinan provinsi ini.”
Saya menyadari, satir kehidupan memang sering diceritakan di tempat sederhana seperti warung makan. Orang kecil makan sambil mengeluh, sementara yang di gedung megah makan sambil menghitung tambahan angka di slip gaji.
Percakapan itu terus mengalir, saya tak bisa menghentikan telinga saya.
“Sudah miskin, sudah jadi beban rakyat, kinerja jeblok, tapi masih mau minta lagi tunjangan besar? Itu bukan hanya tidak tahu diri, tapi juga tidak tahu malu!” suara bapak tadi meninggi. “Kalau saya jadi mereka, saya sudah malu menatap rakyat di jalan. Tapi mungkin muka mereka sudah terlalu tebal.”
Warung tiba-tiba ramai, sehingga percakapan di meja sebelah seperti langsung reda. Mereka melanjutkan makan dengan diam, hanya sesekali menggeleng pelan.
Ketika meninggalkan warung itu, Saya sendiri tidak tahu wakil rakyat di daerah mana yang mereka maksudkan, tetapi kalimat terakhir dari bapak itu masih terngiang: “Tanpa naik tunjangan pun, mereka sudah jadi beban rakyat. Bedanya, kali ini mereka menunjukkan dengan terang-benderang bahwa mereka memang tidak tahu diri, juga tidak tahu malu.”
*Simon Seffi, guru di SMAN 2 Fatuleu Barat.