Guru (Dari Ujung Mata Sastra)
Oleh: Jules I. Banoet, S.Pd*
Jika rumah itu dibangun mulai dari fondasi, maka keluarga itu dibangun mulai dari komunikasi. Karena jika tidak demikian maka sebenarnya mereka hanya sekumpulan orang asing yang sedang kesasar di suatu taman tanpa nama, dalam waktu yang bersamaan.
Apakah kita adalah asing?
Di negeri ini, jika guru diibaratkan sebagai sebuah rumah. Maka kita adalah fondasi. Sayangnya, rumah yang mewah-megah,
tidak dilihat dari fondasi melainkan dari tembok berlapis marmer yang beratapkan emas.
Itu sebabnya fondasi tidak dicat bahkan demi keindahan.
Begitu datang gempa dan tembok terbelah, ataupun runtuh, yang disalahkan adalah fondasinya tidak kuat. Kita adalah orang-orang penting yang dianggap tidak penting sebelum ada bencana.
Bahkan lantai akan diganti dengan ubin
bila perlu keramik termahal.
Tetapi fondasi, akan ditinggal tertimbun tanah sampai pada akhirnya rumah itu tidak lagi bertuan. Apakah kita hanya sekumpulan orang asing yang diperankan sebagai kambing hitam?
Tidak, tidak, bukan begitu konsepnya.
Yaa, itu memang bukan konsep. Itulah faktanya.
Di negeri ini,
jika pendidikan adalah sebuah rumah,
maka guru adalah dapurnya.
Dengan koki terpilih,
bukan karena masakannya yang lezat
ataupun bervariasi menggoda
tetapi kedekatan dengan kepala keluarga.
Jika tidak demikian,
bagaimana mungkin,
semenjak merdeka,
tidak pernah satupun ketua PGRI yang dijadikan menteri pendidikan?
Jika negeri ini adalah sebuah rumah,
maka pendidikan adalah kamar tidur.
Di sana tempat bermula mimpi.
Si anak akan tertidur selama 14 jam, mimpinya akan terus berganti hingga tersadar sebagai mimpi buruk.
Dan menangis.
Jika tidak demikian bagaimana bisa anak dengan mimpi menjadi astronot berakhir menjadi seorang gembala sapi?
Pergi pagi pulang malam, lalu duduk bermain suling bambu menatap langit dan berkata “bintang itu telah muncul dari timur, sebentar lagi sakitnya arunika”..
Di negeri ini,
jika diibaratkan sebuah rumah,
maka pendidikan adalah ruang tamu.
Tempat berpajang segala kepentingan.
Yang hanya sekadar riasan belaka.
Yang digunakan hanya untuk tamu kehormatan.
Sedang kesehariannya,
habis di beranda.
Samping konstruksi rumah baru.
Di negeri ini,
jika diibaratkan sebuah rumah maka pendidikan adalah atapnya.
Dahulu dari daun lontar, lalu berpindah menjadi seng yang kemudian dihiasi dengan cat berwarna-warni.
Dan sekarang genteng.
Entah lusa apa lagi?
Di negeri ini,
jika diibaratkan sebuah rumah,
maka pendidikan adalah semua imajinasi yang terlintas dalam benak saat ini.
Rumah yang tidak mampu berdiri dari kaki sendiri, rumah yang masih terus mengontrak lahan BKN, rumah yang menjadi sasaran oknum pencari suara.
Rumahnya para kaum intelektual yang terikat sistem politik busuk.
Rumah tanpa ventilasi, yang ada hanya regulasi.
Rumah, yang hanya dianggap rumah oleh seorang bernama Guru.
Yang sekalipun dihina, dicerca, ditinggalkan dalam segala kekurangan keterbatasan.
Selalu kembali dan berteduh
dalam damainya rumah.
Apakah kita adalah seorang bernama Guru itu?
Dari ujung mata sastra,
untuk literasi tanpa regulasi.
Sampaikan salam pada kata yang merana.
Yang dibatasi ide-ide pokok paragraf.
Yang berhamburan di sudut jenuh imajinasi. Semua terlihat jelas.
Inilah tulisan yang dikonotasi dari kaum penganut makna pengabdian.
Guru……..
Oepoli, 16 September 2024
*Penulis saat ini menjadi guru di SMAN 1 Amfoang Timur