Tak dapat ditampik bahwa kehidupan manusia kini amat berhubungan dengan media sosial (medsos). Medsos sudah menjadi kebutuhan manusia dan berperan penting dalam mengirim pesan, berbagi dan mencari suatu informasi. Medsos membantu dalam menghapus jarak antar manusia sehingga sangat efektif untuk mempersingkat waktu dalam berkomunikasi.
Lalu apa itu medsos? Medsos merupakan label yang mengacu pada teknologi digital yang berpotensi membuat semua orang saling terhubung serta berinteraksi dan berbagi pesan. Medsos adalah suatu perangkat alat komunikasi yang memuat berbagai kemungkinan untuk terciptanya bentuk interaksi gaya baru. Medsos adalah tempat kumpulan gambar, video, tulisan termasuk hubungan interaksi dalam jaringan baik antarindividu maupun antarkelompok.
Semenjak kelahirannya 24 Mei 1844 ketika serangkaian titik dan garis elektronik yang diketik pada mesin telegraf oleh Samuel Morse sang penemu mesin telegraf yang mengirimkan pesan melalui mesin ciptaannya untuk kali pertama kepada publik, medsos telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun dan dimanfaatkan multi fungsi. Antara lain misalnya, tahun 2003-2005 menjadi era kelahiran banyak medsos seperti MySpace, LinkedIn, Youtube, WordPress, Facebook, dan Twitter. Berlanjut pada tahun 2010 lahirlah Instagram yang membuat orang berlomba-lomba melakukan apapun demi terkenal serta mendorong manusia selalu mengikuti tren sehingga lahirlah istilah FOMO (Fear of Missing Out), lalu TikTok lahir pada tahun 2017 dengan mengusung konsep video-entertainment.
Menurut laporan Hootsuite (We are Social): jumlah pengguna medsos aktif di Indonesia pada Januari 2024 adalah 139 juta orang. Waktu rata-rata yang dihabiskan pengguna internet di Indonesia untuk mengakses media digital adalah 7 jam 38 menit per hari. Rata-rata setiap hari waktu menggunakan media sosial melalui perangkat apa pun: 3 jam, 11 menit. Urutan persentasi pengguna medsos adalah pengguna Whatsapp sebanyak 90,9%, pengguna Instagram sebanyak 85,3%, pengguna Facebook sebanyak 81,6%, pengguna TikTok sebanyak 73,5%.
Medsos dan Generasi Z (Gen Z) memiliki hubungan yang erat melekat. Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 dibesarkan di era dimana medsos telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Gen Z menggunakan medsos untuk berkomunikasi dengan teman, keluarga, dan jaringan sosial lainnya. Medsos merupakan sarana berbagi pengalaman, membagikan konten, dan berinteraksi dengan orang lain. Gen Z mengandalkan medsos untuk tetap up-to-date apa yang terjadi di sekitar bahkan di dunia baik terkait aspek politik, tren budaya, atau informasi tentang merek dan produk favorit mereka. Medsos bagi Gen Z merupakan alat ekspresi diri misalnya untuk membagikan foto, video, pemikiran untuk menunjukkan identitas dan membentuk citra digital. Gen Z menjadikan medsos sebagai adalah platform di mana mereka bisa menjadi kreatif, berbagi ide dan inspirasi, dan mempengaruhi orang lain. Gen Z memanfaatkan medsos untuk belajar dan pengembangan profesional. Banyak anggota Gen Z mengikuti influencer, pemimpin pemikiran, dan merek yang relevan dengan bidang minat atau studi mereka untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Salah satu medsos yang digandrungi dan populer di kalangan Gen Z adalah TikTok. Mereka sangat menikmati konten video pendek yang kreatif dan menghibur. Algoritma TikTok yang canggih juga membantu mereka menemukan konten yang relevan dengan minat. Semenjak pertama kali diluncurkan di Tiongkok pada September 2016 dengan nama Douyin, September 2017 untuk pasar internasional, lalu tahun 2018 ByteDance mengakuisisi aplikasi Musical.ly dan menggabungkannya dengan TikTok, popularitas medsos ini makin mengglobal. Pada tahun 2022, TikTok menjadi aplikasi hiburan yang paling banyak diunduh di seluruh dunia dengan 672 juta unduhan. Indonesia menjadi negara dengan pengguna TikTok terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Pada Januari 2024, jumlah pengguna TikTok di Indonesia mencapai 126,83 juta orang. Angka ini meningkat 19,1% dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya yang sebanyak 106,52 juta orang. Namun, per Juli 2024, Indonesia adalah pengguna aktif TikTok terbanyak di dunia dengan 157,6 juta, diikuti Amerika Serikat yakni 120,5 juta. Dapatlah disimpulkan bahwa terdapat tren peningkatan kuantitas pengguna aktif TikTok dari waktu ke waktu secara singkat. TikTok merupakan medsos dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Mencermati fenomena ini, bisakah dunia pendidikan khususnya sekolah memanfaatkan platform medsos ini sebagai media pembelajaran? Jawabannya BISA!. Apalagi TikTok telah meluncurkan kampanye edukasi terbaru bertajuk “#SerunyaBelajar Ada di TikTok“, setelah sebelumnya sukses dengan kampanye #SamaSamaBelajar. Kampanye edukasi ini tentu mendorong terciptanya konten edukasi yang seru dan bermanfaat sekaligus menyemarakkan kegiatan edukatif yang mengajak partisipasi aktif dari komunitas TikTok.
Bagaimana penerapannya di sekolah? Mulailah dengan hal sederhana! Biasanya, di setiap akhir pembelajaran, guru bersama siswa akan membuat konklusi materi. Umumnya, konklusi dilakukan secara sampling atau klasikal. Jika dilakukan secara sampling, belum tentu menggambarkan populasi. Jika dilakukan secara klasikal, akan terkendala waktu. Mengapa tidak memanfaatkan TikTok sebagai varian lain penyimpulan materi pembelajaran? Guru dapat meminta siswa membuat konten sederhana simpulan tujuan pembelajaran, bisa individu atau dalam kelompok kecil. Dimulai dengan membuat scrip sederhana yang telah dikoreksi guru, pengambilan video dengan menggunakan HP atau peralatan lain yang dimiliki siswa lalu mengunggahnya di medsos TikTok. Link konten dapat dishare ke guru. Mudah bukan?
Terdapat beberapa keuntungan antara lain: penghematan waktu, asesemen menjadi lebih mudah dan variatif, memperkenalkan siswa akan digitalisasi pembelajaran, siswa belajar menjadi kreator dan kontributor konten positif di tengah maraknya konten negatif yang masif di medsos, melatih siswa menjadi komunikator dan reporter yang baik, membantu siswa yang tidak sempat mengikuti pembelajaran hari itu untuk juga dapat mengakses pembelajaran sehingga tidak ada siswa yang tertinggal belajarnya, siswa yang mengalami keterlambatan belajar dapat mengulang menyimak simpulan pembelajaran secara berkali-kali karena ada jejak digital, mengajarkan siswa untuk membangun team work, memberi ruang bagi siswa untuk membangun citra diri dan kepercayaan diri dalam relasi sosialnya.
Tentu ada kendala dalam penerapannya, misal kepemilikan peralatan pembuatan konten, akses jaringan internet atau bahkan kecemasan orangtua/wali dan sekolah ketika siswa dibekali HP. Perlu dipahami bahwa perkembangan digitalisasi sudah tak terbendung. Digitalisasi telah terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan sehingga mau tidak mau setiap orang harus menyiasatinya sesuai konteks. Tidak harus diwajibkan siswa secara mandiri menghasilkan konten TikTok tetapi bisa secara berkelompok. Peralatan sekolah yang terkait pembuatan konten mini ini dapat dioptimalkan. Atau, menggunakan peralatan yang dimiliki guru secara bergantian oleh siswa.
Daripada terjebak dalam kekuatiran kalau-kalau android dan TikTok disalahfungsikan siswa untuk hal-hal negatif, ada baiknya dengan bijak para siswa diberi kepercayaan, dibimbing, diarahkan, dan dituntun secara kolektif baik oleh orangtua maupun pihak sekolah (guru) agar mereka dapat menghasilkan karya positif. Buatlah kesepakatan apabila android dan TikTok disalahgunakan peruntukannya sehingga siswa tahu batasan penggunaanya dan konsekuensi apabila melanggar (dalam hal ini siswa diberi kepercayaan dan tanggung jawab). Sebab, semakin siswa dikekang, mereka cenderung semakin memberontak. Kreatifitas keingintahuan dan pemberontakannya akan menjadi-jadi. Itulah ciri siswa Gen Z atau mungkin manusia pada umumnya. Dengan demikian medsos bukan lagi ancaman yang harus dijauhkan melainkan menjadi ‘sobat’ yang menyenangkan, bermanfaat, dan bermutu bagi siswa dan kualitas pembelajaran.