Tinggalkan Tanya (Penghuni Rumah Berpilar Empat)
Kisah rumah berpilar empat,
Bercampurkan semboyan,
Didasari dengan pasal dan ayat,
Menjadi tembok terkuat,
Namun sayang atapnya selalu bocor.
Meresahkan setiap penghuni rumah.
Tidak tertanggungkan.
Rumahku belum jadi.
Selalu saja bermasalah dengan atap.
Tukang yang seharusnya terampil,
Menjadi pengintip bahkan merampok.
Yang mengintai seisi rumah.
Lalu mencuri sebelum hujan.
Kisah rumah berpilar empat,
Dahulu pencuri dari seberang.
Terusir bambu-bambu runcing.
Dari semangat gerilya.
Kini perampok dari Nusa.
Tak kenal takut penuh kuasa.
Karena orang dalam negeri.
Mereka yang seharusnya berpikir,
Malah keasikan tertidur.
Bermimpi menjadi besar.
Dan tersadar dalam penjara.
Hanya penjara?
Kisah rumah berpilar empat,
Berumur 79 tahun kini.
Tembok yang dibangun atas nama kesatuan.
Rasa yang sama menjadi bahasa yang satu.
Bertahan dari peluru dan granat,
Lalu hancur oleh keserakahan kepentingan.
Dari lumbung hingga beranda.
Sisakan derita penghuni rumah.
Kami yang mendidik,
Dari penganut makna pengabdian.
Harus tabah dalam cacian.
Dengan utang seikat kangkung.
Nasib bergantung.
Pada kebijakan politisi 5 tahunan,
Yang juga siswa 25 tahun silam.
Tanpa rasa hormat sedikit pun,
Guru- guru di acuhkan.
Tanpa sadar diri sedikitpun,
Mereka berpikir sudah lebih hebat dari guru.
Memang kami bukan orang yang sama.
Tapi ilmu yang kami ajarkan adalah satu.
Lalu bagaimana mungkin kami kalian acuhkan?
Apakah karena seragam mu?
Atau gaji mu lebih besar dari kami?
Atau niatmu hanya pencitraan?
Kami orang perbatasan,
Dengan jaringan terkadang roaming.
Merasa bangga menjadi bagian NKRI.
Ternyata yang disana,
Mereka sedang berbagi jatah pemulih jaringan 11 triliun.
Kami orang pelosok negeri,
Dengan jalan melingkari gunung,
Merasa bangga dengan 200 miliar sabuk merah.
Ternyata yang disana,
271 triliun perlahan masuk bagasi jet pribadi.
Kami petugas tapal batas,
Sibuk mengayomi dan melindungi dengan nyawa.
Merasa bangga berseragam Bhabin dan Bhinsa.
Ternyata yang disana,
Terus menodai lembaga dengan sprint pribadi atas nama hirarki.
Lalu mata-mata berkacamata dalam jabatan.
Semata-mata kepentingan publikasi berkata.
Terima kasih atas pengabdian.
Haha pencitraan..
Sampai kapan terus begini?
Sedang gaji guru ditahan untuk pembangunan infrastruktur.
Dia yang seharusnya berjuang untuk kami,
Malah terus terdiam membisu.
Dia yang seharusnya berpikir tentang kami,
Malah terus asyik membuat aplikasi
Tanpa tahu,
Kami adalah korban utama kurikulum pada raibnya 11 triliun.
Birokrasi 79 tahun.
Karier hanyalah anak tangga bagi bawahan.
Demokrasi dijadikan batu loncatan berdirinya partai-partai baru.
Siapa punya masa, dia dapat jabatan.
Politik menjarah ke segala arah.
Nasib pendidikan, kesehatan, pertanian, bahkan ikan di laut.
Terserah kebijakan politik.
Politik orang dalam,
Siapa kenal silahkan masuk.
Kapitalisme berkuasa atas tanah dan air.
Udara hanya bonus bagi kami pribumi.
Politik pengalihan isu merajalela,
Media berkuasa memutar fakta dan fiktif.
Keadilan hanya terwujud sewaktu pribumi bersalah.
Rumah apa ini?
Isinya politik semua.
Mereka yang membuat peraturan,
Takut akan menjerat leher sendiri.
Wacana pemiskinan koruptor hilang tanpa cerita.
Bersamaan dengan kabar 271 Triliun.
Terbesar sepanjang sejarah rumah ini.
Istri pelaku utama malah tersenyum dihadapan kamera,
Lantas media malah gencar memutar kisah pembunuhan 8 tahun lalu karena bioskop.
Hahaha..
Ada yang salah disini.
Ya..yaa..Sebutan untuk mereka.
Mereka harusnya pencuri.
Bukan koruptor.
Teriak lah pencuri.
Sehingga kami bisa ikut mengejar dan memukul wajah mereka.
Seperti kami memukul para pencuri sandal masjid dan singkong.
Yang diborgol dan diseret seperti kambing.
Bukannya di iring ratusan kamera,
Untuk duduk dalam pangkuan empuk sofa oknum gembira.
Penghasilan tambahan untuk si perut gendut.
Lalu datang manusia berdasi,
Mengatasnamakan “ini klien saya”.
Si pembual handal dari kamar bermeja hijau.
Mencoba meringankan hukuman dengan dalih-dalih bermotif munafik.
Dasar dungu.
Mereka kami didik untuk membela yang benar,
Setelah lulus malah asyik bernegosiasi dengan kesalahan.
Mereka bukan koruptor.
Biar jadi rebutan masa.
Teriaki mereka pencuri.
Biar kami bisa ikut memukul wajah mereka.
Bukankah seharusnya mereka tidak pantas mendapat pembelaan hukum?
Lantas kenapa, kenapa mereka yang selalu terlihat handal dalam pasal dan ayat,
Selalu ada di belakang binatang-binatang itu?
Ini hanya sederet Tanya penghuni rumah berpilar empat.
Rumah yang dibangun atas rasa persaudaraan.
Rumah yang merdeka,
Dari kejamnya jajahan Belanda dan Jepang.
Dan rumah yang terus menderita akibat mereka.
Rumahku, rumahmu.
Rumah kita.
Indonesia.
Merdeka, merdekalah dari mereka.