Pemimpin, Kepemimpinan, dan 5 Tahap Kepemimpinan ala Maxwell

Oleh: Simon Seffi

Saya bersama kepala SMAN 2 Fatuleu Barat, Bapak Ambrosius Jamon pernah mengikuti suatu kegiatan yang melibatkan para Kepala SMA di Kabupaten Kupang serta tenaga operator sekolah dan wakil kepala sekolah pada beberapa waktu lalu. Ketika mendiskusikan materi yang berkaitan dengan kepemimpinan di sekolah, beberapa peserta kegiatan termasuk saya dan Bapak Ambrosius ditanyai oleh pemateri, ‘apa perbedaan antara pemimpin dan kepemimpinan?’.

Bapak Ambrosius Jamon kemudian menjelaskan perbedaan antara pemimpin dan kepemimpinan dengan sangat baik, menurut saya, yang jika diringkas kira-kira begini maksudnya: Pemimpin merupakan orang dalam suatu organ atau lembaga yang memiliki atau diberi kuasa, sementara kepemimpinan merujuk pada karakter dan kemampuan mengelola kuasa untuk menggerakkan atau memimpin dalam rangka mencapai tujuan dari organisasi. Beberapa peserta juga memberi jawaban hampir sama meski berbeda formulasi kalimatnya. Begitu juga saya.

Sebenarnya, saya sempat tergoda untuk mengajak berdiskusi mengenai kepemimpinan dan tingkat pengaruh dalam kepemimpinan sesuai isi buku ‘Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda’, yang ditulis oleh John C. Maxwell, Guru Kepemimpinan yang terkenal itu. Niat tersebut saya urungkan karena pertimbangan soal waktu, sebab bapak Melkis Oematan yang menjadi pemateri saat itu juga terlihat berburu dengan waktu penyampaian materi yang terbatas. Akhirnya, melalui artikel pendek ini, penjelasan singkat yang hendak keluar saat itu menemukan tempatnya.

Simon Seffi, penulis.

Pemimpin Sejati dan Pemimpin Tipe ‘Bos’

Menurut Maxwell, akan ada banyak definisi soal kepemimpinan dari sekian banyak orang berbeda ketika diberi pertanyaan soal itu akibat, diantaranya, karena keterlibatan emosional ketika berusaha mendefinisikan kepemimpinan ataupun pengalaman berinteraksi dengan seorang pemimpin yang perilakunya begitu memengaruhi. Sementara, menurut Maxwell sendiri, Kepemimpinan adalah Pengaruh.

Kepemimpinan merupakan pengaruh yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan pengikut. Maxwel menulis begitu. Dia menyetujui pernyataan James C. Georges bahwa terlepas dari persoalan moral, kepemimpinan adalah kemampuan memperoleh pengikut-pengikut.

Tentu saja Maxwell tidak mengajarkan agar menggunakan segala cara, termasuk yang bertentangan dengan nilai moral, untuk mendapatkan pengikut. Dia hanya menegaskan, ketika kepemimpinan dilihat sebagai kemampuan untuk mendapatkan pengikut, bagaimana cara untuk memimpin menjadi hal yang paling penting.

Sebab, kepemimpinan yang sejati adalah ketika memiliki pengikut yang mengikuti dengan tulus, senang, dan penuh keyakinan. Karena ada banyak orang yang menjadi pimpinan atau pemimpin, tetapi hampir-hampir tidak memiliki pengikut. Hanya segelintir yang mengikuti kemauannya karena hal tertentu, selebihnya patuh hanya karena takut pada kuasa yang dimiliki.

Seorang pemimpin sejati akan diikuti secara sukarela tanpa paksaan atau karena takut pada kewenangan yang dimiliki. Sumberdaya, dinamika, dan konflik dapat dikelola untuk kepentingan organisasi, dan tujuan esensial organisasi, bukan sekedar tujuan administratif yang ‘asal bapak senang’,  dapat tercapai jika pimpinan merupakan seorang pemimpin sejati. Maxwell melukiskan perbedaan antara menjadi seorang pemimpin sejati dengan pemimpin yang disebutnya ‘bos’ sebagai berikut:

Bos mengendarai para pekerjanya, pemimpin melatih mereka.
Bos bergantung pada wewenang, pemimpin pada itikad baik.
Bos menimbulkan rasa takut, pemimpin menimbulkan antusiasme.
Bos mengatakan ‘aku’, pemimpin ‘kita’.
Bos mengurus kesalahan dalam kemacetan, pemimpin memperbaiki kemacetannya.
Bos hanya mau tahu bahwa saya telah mengerjakannya, pemimpin menunjukkan caranya.
Bos mengatakan ‘jalan’ pemimpin mengatakan ‘mari kita jalan’.

Lima Tahap Kepemimpinan ala Maxwell

Pemimpin sejati memiliki pengikut setia karena tingkat pengaruh yang dimilikinya. Maxwell menjelaskan lima tahap kepemimpinan yang berkaitan dengan tingkat pengaruh seorang pemimpin untuk memiliki pengikut.

Tahap Kepemimpinan 1: Posisi. Maxwell menjelaskan, tahap kepemimpinan posisi merupakan tahap yang paling dasar. Seseorang berada pada tahap ini karena diberi jabatan dan kuasa. Satu-satunya pengaruh yang dimiliki hanya ada pada jabatan dan kuasa yang melekat padanya. Pemimpin yang masih berada pada level pemimpin posisi mengendalikan pengikutnya hanya menggunakan kewenangan yang dimilikinya sehingga satu-satunya kekuatan yang dimilikinya adalah jabatan, bukan bakat. Orang-orang menjadi pengikut karena itu suatu keharusan.

Pemimpin yang masih berada pada level posisi biasanya akan kesulitan untuk memimpin dalam organisasi sosial yang tidak mendapatkan bantuan sumberdaya apapun dari luar. Ketua-ketua organisasi sosial yang dukungan sumberdaya tidak memadai yang biasanya sanggup menggerakkan anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi jelas telah melampaui level ini. Karena itu, seorang pemimpin harus mampu keluar dari tahap kepemimpinan posisi agar tingkat pengaruhnya makin meningkat dan tidak hanya bergantung pada kuasa atau kewenangan yang dimilikinya.

Tahap Kepemimpinan 2: Permisi. Ketika berada pada tahap kepemimpinan Permisi, kepemimpinan bertumbuh melalui relasi emosional yang bermakna sehingga tidak hanya bertumpu pada berbagai peraturan yang ada. Jika pemimpin pada tahap posisi memimpin dengan intimidasi dan ancaman menggunakan peraturan dan sekedar menyelesaikan tanggungjawabnya, pemimpin pada tahap permisi akan memimpin dengan mendasarkannya pada hubungan antar sesama.

Pemimpin yang mencapai tahap permisi akan mampu membuat orang lain untuk bekerja baginya meski tidak diwajibkan. Orang mengikuti pemimpin yang sudah berada pada tahap ini diluar dari kewenangan yang dimilikinya.

Pemimpin yang telah mencapai tahap permisi cenderung memiliki unsur paling penting dalam kepemimpinan yakni ‘Integritas’. Integritas merupakan kondisi di mana apa yang diucapkan oleh pemimpin sejalan dengan apa yang dilakukannya. Pemimpin yang berintegritas tidak suka berpura-pura dan menyembunyikan sesuatu yang harus diketahui bersama dalam pelaksanaan kegiatan organisasi. Pemimpin yang memiliki integritas tidak akan berbohong karena memiliki agenda sempit untuk kepentingan dirinya sendiri sehingga para pengikutnya tidak merasa diperalat.

Maxwell menulis, ‘untuk memperoleh kepercayaan, seorang pemimpin harus bersifat asli (berintegritas).  Supaya hal ini bisa terjadi, orang harus menampilkan diri seperti komposisi musik yang bagus, lirik kata-katanya harus cocok dengan musiknya.’

Pemimpin yang memiliki integritas sangat dipercaya oleh pengikutnya sehingga mereka akan sukarela bekerja baginya diluar dari otoritas yang dimiliki karena integritas memiliki nilai pengaruh yang sangat tinggi.

Maxwell menyarankan, untuk membangun kehidupan di atas landasan integritas, puisi Edgar Guest yang berjudul “Apakah Aku Tulus Pada Diriku Sendiri?” dapat dijadikan sebagai ‘Tes Cermin’ untuk mengevaluasi diri. Berikut kutipan puisi tersebut:

Apakah Aku Tulus Pada Diriku Sendiri?
Aku harus hidup dengan diriku sendiri, jadi
Aku ingin cocok bagi diriku sendiri agar mengetahui,
Aku ingin mampu, sementara hari-hari berlalu,
Memandang diri sendiri langsung di mata selalu;
Aku tak ingin berdiri, dengan terbenamnya matahari,
Dan untuk hal-hal yang kulakukan, membenci diri sendiri,
Aku tak ingin menyimpan dalam rak lemari,
Banyak rahasia tentang diriku sendiri,
Dan membodohi diriku, sementara aku datang dan pergi,
Ke dalam pikiran yang tak seorang lainpun akan tahu,
Macam manusia apa sesungguhnya aku ini;
Aku tak ingin mendandani diriku dengan tipuan.
Aku ingin keluar dengan kepala tegak,
Aku ingin layak mendapat hormat dari semua orang;
Tetapi dalam perjuangan untuk kemasyhuran dan uang,
Kuingin bisa menyukai diriku sendiri.
Aku tak ingin memandang diriku sendiri dan tahu,
Bahwa aku adalah pembohong, penggertak, dan pameran kosong.
Aku tak sanggup menyembunyikan diri dari padaku sendiri;
Aku melihat apa yang mungkin takkan pernah dilihat orang,
Aku tahu apa yang mungkin takkan pernah diketahui orang,
Aku takkan pernah sanggup membodohi diriku sendiri, jadi,
Apapun yang terjadi, aku ingin menjadi,
Orang yang menghargai diri sendiri dan bebas dalam hati nurani.

Tahap Kepemimpinan 3: Produksi. Pada tahap ini, pemimpin sudah dapat mengarahkan kerja setiap pengikutnya untuk berorientasi pada hasil. Produktifitas meningkat, konflik relatif terkendali dan setiap orang akan bekerja secara sukarela dan tulus mengikuti pemimpin karena sudah ada dasar kepercayaan yang terbangun dengan baik. Ketika kepemimpinan telah sampai pada tahap produksi, orang senang mengikuti pemimpin karena mereka melihat apa yang sudah dilakukan oleh pemimpin untuk kepentingan organisasi. Pada tahap ini, apapun masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan baik karena ada saling percaya.

Tahap Kepemimpinan 4: Pengembangan Orang. Pengikut akan loyal dan sangat militan kepada pemimpin yang telah mencapai tahap kepemimpinan pengembangan orang. Menurut Maxwell, loyalitas kepada pemimpin akan mencapai puncak paling tinggi ketika pengikut secara pribadi telah berkembang melalui bimbingan si pemimpin. Pada tahap ini, seorang pemimpin sudah dapat melahirkan kader yang siap menjadi penerusnya. Seorang pemimpin diakui hebat bukan karena kekuasaannya, tetapi karena kemampuannya untuk melahirkan penerus. Maxwell menulis, ‘sukses tanpa generasi penerus adalah kegagalan.’

Tahap Kepemimpinan 5: Pribadi Seseorang (Personhood). Menurut Maxwell, sangat sedikit orang yang pernah mencapai tahap kepemimpinan personhood. Pada tahap ini, keberadaan diri pemimpin mewakili sesuatu karakter baik yang tidak terpisahkan dari diri sang pemimpin. Orang mengikuti pemimpin pada tahap tersebut karena jatidiri sang pemimpin. Menurut Maxwell, tahap kepemimpinan personhood hanya dimiliki para pemimpin yang telah menghabiskan waktunya bertahun-tahun untuk mengembangkan orang-orang dan organisasi-organisasi.

Demikian tahapan yang bisa dicapai dalam kepemimpinan menurut Maxwell. Maxwell juga menjelaskan, dalam proses untuk mencapai tahap kepemimpinan yang lebih tinggi, setiap tahap dari kelima tahap tersebut harus dilalui karena masing-masing tahap berdiri di atas tahap sebelumnya. Pada tahap 1, pemimpin memiliki kuasa karena jabatan. Pengikut patuh pada pemimpin karena tanggungjawab. Pada tahap 2, pengikut mengasihi pemimpin karena relasi yang dikembangkan pemimpin bersandar pada rasa saling percaya. Integritas pemimpin menentukan tingkat kepercayaan pengikutnya. Pada tahap 3, pengikut mengagumi pemimpin karena apa yang sudah dilakukan untuk kepentingan organisasi. Pada tahap 4, pengikut loyal kepada pemimpin karena mereka sudah bertumbuh dalam bimbingan si pemimpin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *