Gambaran Kemampuan Baca Tulis Anak Bangsa di Pelosok
Pengetahuan adalah kekuatan bangsa. Dengan pengetahuan, kekayaan bangsa seperti tanah pertanian, air, bahan tambang, pariwisata, kelautan, dan potensi lainnya dapat dikelola secara optimal untuk kesejahteraan bersama. Dengan pengetahuan, pengelolaan kekayaan bangsa tidak harus diserahkan kepada kapitalis sehingga keuntungan atas kekayaan bangsa dapat dinikmati sebesar – besarnya untuk kemaslahatan hidup bersama semua warga bangsa.
Pengetahuan dibangun melalui proses belajar (pendidikan) yang bermakna. Karena itu, lepas dari kecenderungan pengabaian pada upaya penggalian dan pengembangan berbagai potensi kecerdasan siswa, dan mengikuti irama dan watak sekolah formal yang lebih menekankan pengetahuan kognitif siswa, agar anak bangsa sebagai output dari sistem sekolah kita memiliki modal pengetahuan yang memadai sebagai prasyarat untuk mengelola kekayaan bangsa, fondasi pengetahuan dasar yang kuat bagi mereka sejak masa sekolah dasar(SD) sudah harus diupayakan semaksimal mungkin sebelum mereka lanjut belajar ke tingkat pendidikan berikutnya.
Syarat mutlak agar fondasi pengetahuan dasar terkonstruksi dengan mantap sejak masa sekolah di SD diantaranya adalah kemampuan membaca memaknai (memahami bacaan) mesti dimiliki siswa setelah melewati aktifitas membaca permulaan. Idealnya, setelah terlibat dalam proses pembelajaran yang mengutamakan kegiatan membaca permulaan hingga kelas tiga SD, anak diharapkan sudah dapat membaca memaknai dan menulis dengan lancar. Di kelas satu, anak mengenal huruf, suku kata, dan kalimat pendek yang berhubungan dengan lingkungan terdekatnya. Sehingga, dalam dua semester pertama di kelas permulaan, anak dapat mengenal seluruh abjad, membaca suku kata dan kalimat, bahkan dapat membaca cerita-cerita pendek. Selanjutnya, anak sudah dapat mengenal dan memahami penggunaan tanda baca dengan baik hingga berkreasi membuat kalimat – kalimat pendek setelah melalui dua tahun pembelajaran di kelas dua dan tiga.
Ternyata, ideal seperti di atas masih sulit didapati dalam penyelenggaraan pendidikan di banyak daerah pelosok negeri ini. Di kampung – kampung, di pelosok Indonesia, mudah sekali mendapati anak bangsa yang belum lancar membaca dan menulis meski sudah hampir tamat SD. Pos kupang, salah satu harian umum di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam pemberitaannya pada awal Februari 2016 menyampaikan bahwa, Save The Children, lembaga kemanusiaan yang fokus bergerak di bidang pendidikan, menemukan banyak siswa SD di sejumlah lokasi terpencil di NTT yang belum bisa membaca setelah melewati kelas permulaan. Lembaga yang sudah bergerak di NTT sejak tahun 2009 itu juga menemukan bahwa banyak siswa di sejumlah lokasi yang belum bisa membaca meski sudah berada di kelas enam SD.
Menggunakan mesin pencari google, kita juga akan mendapati kenyataan bahwa persoalan ini juga dihadapi banyak anak bangsa di Papua dan daerah pelosok lainnya, termasuk, juga menyasar tidak sedikit anak bangsa yang tinggal dan bersekolah di daerah yang relatif tidak terkategori sebagai daerah pelosok dan terpencil.
Memang, secara nasional, analisis kemampuan membaca siswa Indonesia yang dilakukan oleh lembaga internasional Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2011 juga menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia berada dalam kurva berkemampuan rendah. Analisis kemampuan membaca siswa Indonesia dalam standar Internasional ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa kita untuk mengulang informasi tersurat; membuat inferensi; menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi; serta memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur – unsur yang terdapat di dalam teks, masih berada di bawah nilai rata – rata internasional.
Studi yang dilakukan USAID di Indonesia pada tahun 2014 juga menunjukkan bahwa ada 20 % lebih siswa SD kelas satu dan dua yang akan naik ke kelas berikut, tergolong pembaca pemula, yakni gabungan pembaca lancar dan lamban namun tidak mengerti artinya, dan juga ada 3 % siswa yang tergolong bukan pembaca karena belum mengenal huruf meski sudah dua tahun bersekolah.
Jika disandingkan dengan temuan save the children di NTT, jelas bahwa ukuran kemampuan membaca sesuai data temuan USAID (juga PIRLS) yang dianggap mewakili kualitas kemahiran membaca anak bangsa secara nasional bisa diasumsikan sebagai ukuran rata – rata relatif yang belum mengakomodasi kenyataan perbedaan kemampuan baca tulis antara anak bangsa yang berada di pelosok dengan yang berada di daerah sekitar pusat pembangunan mengingat parahnya ketimpangan kualitas pengelolaan pendidikan antar berbagai wilayah di Indonesia.
Menemukan lebih dari 20 % siswa yang terkategori pembaca lamban dan lebih dari 3 % siswa yang terkategori non pembaca meski sudah lebih dari dua tahun bersekolah di banyak daerah pelosok, terutama di wilayah Timor Barat NTT, bukan hal yang sulit hari ini. Dalam sebuah penelitian kecil – kecilan yang dilakukan penulis pada akhir Juni 2016 di salah satu kecamatan di kabupaten Kupang (Pos Kupang edisi 13 Juli 2016), didapati mayoritas siswa kelas IV dan V (sudah selesai ujian untuk naik ke kelas V dan VI saat pengambilan data) dalam tiap kelas di tiap sekolah memiliki kemampuan baca yang tidak menggembirakan karena rendahnya kecepatan membaca dan persentasi pemahaman atas isi bacaan yang rendah sesuai hasil pengukuran menggunakan instrumen yang dikembangkan Tampubolon.
Tempo.co dalam pemberitaan edisi Rabu, 27 Mei 2015, juga merilis temuan save the children dalam program ‘better literacy for academic result’ yang menemukan 64 % dari 674 siswa kelas dua dari 35 SD di kabupaten Belu yang tidak dapat membaca atau menjawab pertanyaan dan memahami teks yang mereka baca.
Jika berselancar di google, anda akan menemukan banyak persoalan sejenis di banyak daerah di NTT dan daerah pedalaman lain di Indonesia yang intinya menggambarkan bahwa kemampuan membaca anak bangsa di daerah pedalaman relatif memprihatinkan.
Penyebab
Beberapa hal berikut sering dituding ikut berkontribusi terhadap rendahnya kemampuan baca tulis banyak anak bangsa di NTT dan daerah pedalaman lain Indonesia. Antara lain; Pertama, orang tua yang tidak peduli terhadap perkembangan belajar anak.Umumnya, anak yang tidak lancar atau belum bisa baca tulis hingga hampir tamat SD memiliki orang tua yang sepenuhnya memasrahkan perkembangan belajar anak pada sekolah. Karena itu, selain tidak ada komunikasi yang intens mengenai perkembangan belajar anak dengan pihak guru atau sekolah (kebanyakan orangtua hanya bertemu guru saat pengambilan laporan hasil belajar), materi pembelajaran di sekolah juga tidak kembali diingatkan oleh orang tua secara rutin dan teratur.
Padahal, para ahli yang meneliti cara kerja otak mengungkapkan bahwa 70 % dari apa yang dipelajari oleh seseorang akan dilupakan dalam waktu 24 jam. Meski begitu, 30 % sisa materi yang diingat harus merupakan hal yang benar – benar dimengerti dan mendapat perhatian saat pembelajaran berlangsung. Sedangkan, siswa kelas permulaan dengan rentang waktu fokus yang relatif kecil memiliki perhatian yang tidak bertahan lama dalam setiap aktifitas pembelajaran. Apalagi jika guru menggunakan metode yang selain tidak sesuai dengan gaya belajar anak, juga menjauhkan mereka dari kebutuhan bermainnya.
Hamruni, mengutip McKeachie dalam ‘Mengoptimalkan fungsi otak dan indra dalam pembelajaran’ mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran bergaya ceramah (yang juga dominan digunakan banyak guru di pedalaman Indonesia dalam pembelajaran kelas permulaan), perhatian siswa hanya bertahan sekitar 40 % dari seluruh waktu pembelajaran. Dalam sepuluh menit pertama, siswa dapat mengingat sampai 70 % materi yang diterima, tetapi hanya sekitar 20 % materi yang dapat diingat siswa di sepuluh menit terakhir. Karena itu, tanpa adanya upaya yang rutin dan teratur dari orang tua untuk mengingatkan anak pada materi pembelajaran di sekolah, anak mudah sekali melupakan materi yang dipelajarinya.
Kebanyakan orang dewasa di pedalaman Indonesia yang sekaligus memiliki anak sekolahan juga tidak mampu membangun budaya baca pada anak – anak mereka. Selain karena orang tua juga sama sekali tidak memiliki kebiasaan baca, anak – anak juga tidak dibelikan buku pendukung pembelajaran termasuk bacaan yang sesuai dengan minat anak. Bahkan beberapa waktu terakhir, ketika negara memberikan beasiswa bagi tidak sedikit anak bangsa di pelosok melalui ‘Program Indonesia Pintar’ (PIP) maupun beasiswa sejenis lainnya, tidak sedikit orang tua yang kemudian menggunakan uangnya juga untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan pendidikan anaknya. Buku pendukung pembelajaran ataupun bacaan lain sejenis terkesan tidak diprioritaskan sebagai kebutuhan pendidikan anak.
Juga, oleh banyak pihak, kebutuhan asupan gizi yang ikut memengaruhi kecerdasan anak tidak diperhatikan secara serius oleh tidak sedikit orang tua di pelosok Indonesia. Banyak orang tua yang relatif tidak mampu menyediakan makanan yang nutrisinya seimbang sesuai tuntutan kebutuhan tubuh dan otak anak. Masa sewaktu otak berkembang pesat di usia emas (sebelum lewat usia 5 tahun) relatif tidak didukung asupan nutrisi yang cukup dan seimbang.
Hal kedua yang ikut memengaruhi rendahnya kemampuan baca tulis anak bangsa adalah tatakelola sekolah dan penyelenggaraan pembelajaran oleh guru yang tidak akomodatif. Kebanyakan, guru tidak hanya memperlakukan anak kelas permulaan dengan metode pembelajaran yang cenderungkaku dan membosankan, tetapi, juga cenderung memaksa anak untuk duduk tertib dan relatif tidak banyak melibatkan aktivitas fisik ketika pembelajaran berlangsung.
Anak – anak juga dipaksa berpisah dengan kebutuhan bermainnya ketika memasuki masa sekolah. Padahal, bagi anak, bermain adalah belajar.Anak kecil, di rumahnya saat berusia sebelum sekolah, setiap pagi bangun dengan perasaan riang dan bersemangat mengeksplorasi berbagai hal baru yang ditemui di sekelilingnya. Dengan sifat ingin tahunya yang besar, anak kecil melakukan banyak hal baru dan begitu menikmati setiap hal yang dilakukan olehnya. Anak, yang oleh Mihaly Csikszentmihaly (pakar psikologi positif) dianggap sebagai mesin belajar pada awal perjalanan hidup mereka sangat nyaman dan menikmati setiap hal yang mereka lakukan. Indikasi kenyamanan dan kenikmatan terlihat sekali pada wajah anak yang penuh konsentrasi ketika melakukan sesuatu.
Sayangnya, kenyamanan dan kenikmatan mesin belajar ini seolah direnggut oleh sekolah karena kesalahan metode pembelajaran yang tidak mampu mengakomodasi kebutuhan bermain mereka. Tidak sedikit siswa yang kemudian merasa tidak nyaman dan juga tidak menikmati pembelajaran. Apalagi, banyak anak bangsa di pelosok tidak melewati kegiatan pembiasaan kesiapan sekolah melalui pembelajaran anak usia dini. Lembaga pendidikan anak usia dini baru saja menyasar anak bangsa di pelosok beberapa tahun terakhir ini. Meski demikian, tak jarang, pembelajarannya juga dikemas dengan pendekatan yang membosankan dan tidak akomodatif bagi kebutuhan bermain anak usia dini, akibat, minimnya sarana dan prasarana pendukung pembelajaran yang sesuai kebutuhan anak usia dini, termasuk, ketersediaan perangkat pengelola dan pengajar yang basis ilmunya belum sejalan dengan tuntutan kebutuhan pembelajaran anak usia dini.
Dengan kondisi ini, tidak sedikit anak bangsa yang baru saja mengalami masa sekolah di kelas permulaan dengan berbagai perasaan semisal khawatir, takut, malu, dan emosi negatif lainnya, langsung berhadapan dengan situasi pembelajaran yang kaku, membosankan, bahkan menegangkan. Emosi negatif anak di awal masa awal sekolahnya kemudian cenderung tidak dicairkan oleh guru. Tak heran, pembelajaran baca tulis yang mestinya dijalani dengan senang dan emosi positif lainnya malah menjadi beban bagi anak.
Banyak guru juga yang masih belum ramah pada anak. Yang kami temukan, tidak sedikit guru yang masih menghukum siswa dengan cara mencubit di telinga atau bagian tubuh yang lain, menempeleng, disuruh berlutut, membentak, merotani anak menggunakan kayu, mengata-ngatai dengan kasar, dan memarahi siswa yang tidak tahu ketika pembelajaran berlangsung. Padahal, perasaan senang dalam proses pembelajaran, kelas yang demokratis dan dialogis, anak yang merasa diterima, dan juga perhatian yang ramah dibutuhkan oleh anak untuk mengaktualisasi dirinya secara optimal.
Lingkungan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan bagi anak akan merangsang otak neokorteks (otak pikir) sehingga proses berpikir dapat berlangsung optimal. Otak akan berkembang optimal dalam lingkungan yang sarat rangsangan multi sensori, kaya tantangan berpikir, aman, dan menyenangkan. Pada kondisi demikian, jalinan koneksi antar sel otak makin bertambah, yang artinya kecerdasan juga ikut berkembang.Jika lingkungan pembelajaran dikondisikan sebaliknya, dengan tampilan muka guru yang kaku, tanpa senyuman, marah – marah dan diiringi pemberian hukuman, sehingga siswa merasa ‘terancam’, tidak nyaman, dan pembelajaran berlangsung menegangkan, hanya otak reptil yang aktif dan tidak mengoptimalkan akses ke otak neokorteks sehingga proses berpikir anak menjadi tidak maksimal. Kondisi yang demikian jika berlangsung dalam tiap pembelajaran secara berlanjut, akan berpengaruh buruk pada psikologi dan perkembangan kecerdasan anak hingga menjadi manusia dewasa. Bobbi Deporter dan teman – temannya, dalam Quantum teaching, menyebut fenomena demikian sebagai downshifting. Downshifting atau ‘penurunan daya pikir’ yang menghambat proses berpikir tingkat tinggi ternyata berlanjut setelah pembelajaran sehingga relatif mempengaruhi motifasi dan semangat belajar termasuk ketika anak sudah lanjut ke jenjang pendidikan berikut.
Selain itu, sekolah juga tidak mampu membangun komunikasi dan kerja sama dengan orang tua agar terlibat dan bekerja sama dalam mendidik anak. Di kelas permulaan, anak hanya bersama guru dengan tenggang waktu yang relatif singkat dibanding waktu yang anak habiskan bersama orang tua atau di rumah. Banyak anak yang kemudian tidak belajar atau mengulangi materi pembelajaran ketika berada di rumah. Anak hampir tidak membaca sesuatu secara intens dalam tenggang waktu yang lama. Jika gurunya juga jarang masuk kelas seperti yang terjadi di banyak sekolah di pelosok, jelas tidak sedikit anak bahkan tidak pernah membaca sesuatu apapun secara bermakna selama masa sekolahnya.
Juga, ternyata guru/sekolah tidak mampu menumbuhkan minat baca anak. Bahkan sekolah yang memiliki perpustakaan pun tidak mampu memfasilitasi siswa untuk mendapatkan bacaan secara rutin dan terukur. Buku bacaan anak yang ada relatif tidak tersentuh karena berbagai alasan teknis.Tidak sedikit guru juga yang terkesan menganggap siswa belajar hanya jika membaca buku – buku pelajaran. Bacaan selain buku teks pelajaran dianggap sebagai bukan belajar. Sudah begitu, juga ada sekolah yang hanya menyediakan buku pelajaran bagi siswa saat pembelajaran berlangsung. Selesai pembelajaran, buku kembali dikumpulkan. Praktis, banyak siswa yang tidak memiliki satupun buku pendukung di rumahnya.
Dari siswa kelas lima dan empat di sepuluh sekolah yang kami temui di salah satu kecamatan di kabupaten Kupang, tidak sampai sepuluh anak yang mengaku memiliki tidak lebih dari dua buah buku cerita anak dan komik. Padahal, buku cerita anak – anak relatif lebih diminati siswa sehingga selain bisa diharapkan untuk meningkatkan daya imajinasi dan kemampuan baca, juga untuk mengoptimalkan perbendaharaan kata bagi anak/siswa.
Terakhir, pemerintah yang kurang responsif terhadap persoalan pendidikan anak bangsa dan cenderung korup juga memengaruhi kondisi ini. Secara nasional, pemerintah telah menetapkan sejumlah standar minimal yang harus dipenuhi agar kualitas pendidikan di seluruh pelosok Indonesia relatif tidak berbeda secara ekstrim. Standar minimal yang dikenal sebagai Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu meliputi; Standar Kompetensi lulusan, Standar isi, Standar proses Pendidikan, Standar Penilaian, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, dan Standar Pembiayaan Pendidikan.
Jika ditelisik secara mendalam, umumnya hampir semua satuan pendidikan di pelosok – pelosok Indonesia (termasuk satuan pendidikan yang menghasilkan anak bangsa yang belum lancar baca tulis hingga hampir tamat SD) telah memenuhi hampir semua standar minimal yang disyaratkan.
Empat standar minimal yang berkaitan dengan komponen kurikulum yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian relatif sama dan mudah dipenuhi oleh tiap satuan pendidikan termasuk yang ada di daerah pelosok. Satuan pendidikan (guru) tinggal melaksanakan arahan kurikulum untuk memenuhi standar yang ditetapkan. Yang kemudian menjadi masalah serius, adalah proses pembelajaran yang menjamin rasa ‘aman’, menyenangkan, dan akomodatif bagi kebutuhan siswa yang relatif tidak dipenuhi oleh guru di banyak sekolah. Berkaitan dengan konteks masalah kita saat ini, guru yang tidak kreatif dan belum ramah anak dalam proses pembelajaran inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan baca tulis siswa.
Empat standar yang lain juga sebenarnya relatif mudah terpenuhi di sekolah – sekolah di pelosok termasuk di banyak sekolah yang berhadapan dengan persoalan rendahnya kemampuan baca tulis siswa. Khusus untuk mengkonstruksi kemampuan membaca dan menulis siswa, standar sarana dan prasarana selain buku cetak dan bacaan sebenarnya tidak menjadi persoalan yang serius. Bahkan bisa dianggap tidak memberi dampak sama sekali. Penyediaan buku bacaan dan buku cetak sendiri sebenarnya sudah dimudahkan dengan adanya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Sayangnya, diduga tidak sedikit sekolah yang dana BOS-nya cenderung tidak menyasar kebutuhan semacam ini karena tidak efesien dikelola oleh sang bos.
Khusus gedung sekolah, sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Hanya saja, masih juga ada banyak pihak yang beranggapan bahwa gedung sekolah berbahan lokal sebagai ‘gedung darurat’ yang juga menghambat maksimalnya penyelenggaraan sekolah. Kebetulan, ada tidak sedikit sekolah yang bangunannya menggunakan bahan lokal di banyak daerah di NTT dan daerah pelosok lainnya. Dan, kondisi demikian juga acapkali dituding sebagai penyebab buruknya kualitas pendidikan termasuk kemampuan baca tulis yang rendah.
Padahal, pembelajaran relatif berjalan maksimal meski berlangsung di dalam ‘sekolah darurat’ yang keberadaannya juga mencerminkan semangat gotong royong masyarakat pelosok yang masih terpelihara.Hemat penulis, keberadaan gedung sekolah berbahan lokal bukan penyebab daruratnya kualitas SDM yang terlihat dari tidak sedikit siswa seolah tamat SD hanya untuk sekedar bisa baca tulis. Oleh guru yang kreatif dan ramah anak, anak relatif mudah diajari untuk mengenal huruf, mengeja, hingga lancar membaca cerita pendek hanya dengan media yang menggunakan bahan lokal yang murah dan tersedia melimpah meski pembelajaran berlangsung di dalam ‘gedung darurat’. Hanya dibutuhkan guru yang kreatif dan inofativ untuk membuat siswa memiliki kemampuan baca tulis yang baik. Gedung dan perabot yang mewah relatif tidak ada pengaruhnya.
Bagi penulis, yang sebenarnya menjadi masalah serius, yang benderang menjelaskan ketidakseriusan pemerintah menyikapi persoalan rendahnya kemampuan baca tulis siswa, adalah upaya pemangku kepentingan dalam memenuhi standar pembiayaan pendidikan. Rata – rata, hampir semua sekolah di pelosok berusaha memenuhi kekurangan guru dengan mengangkat tenaga honorer. Masalahnya, tenaga honorer mendapat gaji dari iuran komite (yang biasanya relatif murah) dengan besaran yang memprihatinkan. Gaji guru honorer di NTT berkisar diantara Rp. 200 ribu hingga Rp. 500 ribu. Tetapi yang paling banyak adalah tenaga honorer yang besaran gajinya tidak lebih dari Rp. 250 ribu. Dari mereka, ada juga yang dipercayakan untuk mengajari siswa di kelas permulaan.
Andai saja pemerintah punya niat baik, besaran honor mereka juga bisa ditambahkan dari APBD atau dari sumber anggaran lainnya sehingga profesionalitas mereka lebih terukur yang tentunya akan berimbas pada kualitas proses pembelajaran. Yang terjadi, malahan tidak sedikit anggaran rakyat yang kuat diduga dimanfaatkan oleh oknum elit untuk kepentingan yang tidak urgen, sarat aroma korupsi, lalu, kepentingan pendidikan dengan sengaja diabaikan. Bahkan, kebutuhan pendidikan juga acapkali dimanipulasi untuk kepentingan ‘perut’ oknum elit.
Besaran anggaran perjalanan dinas elit yang tak jarang memancing kecurigaan dan dugaan adanya pemborosan anggaran bisa jadi rujukan. Padahal jika ditelisik secara detil, banyak perjalanan dinas boros anggaran yang minim urgensi termasuk kuat diduga nihil tindak lanjut. Diduga, oleh banyak oknum elit, banyak modus yang digunakan untuk mencubit anggaran perjalanan dinas boros anggaran hanya untuk mempertebal saku.
Kuatnya dugaan korupsi pembangunan gedung salah satu SMK di kecamatan Kupang Barat kabupaten Kupang juga menjadi contoh lain yang menunjukkan bahwa oknum elit kita tidak serius mengurusi pembangunan pendidikan anak bangsa.Anggaran sebesar 2 milyar lebih (DAK 300 juta lebih dan Bansos 1,6 Milyar lebih) pada tahun anggaran 2015 ternyata sudah habis terpakai tetapi fisik pekerjaan yang diperuntukkan bagi siswa yang jumlahnya tidak sampai 50 orang (saat penetapan anggaran) masih jauh dari rampung hingga saat ini (NTT news edisi 23 Februari, Zonalinenews 7 Maret 2016, StrikenewsNTT24 Maret 2016, ).
Ini baru contoh kecil yang menunjukkan bahwa pemerintah kita belum serius mengurus kepentingan pendidikan anak bangsa. Di Republik ini, banyak kasus korupsi di sektor pendidikan yang jelas – jelas menunjukkan bahwa kepentingan dari generasiyang akan bertanggung jawab terhadap perjalanan bangsa ternyata dikalahkan aksi korupsi yang masif dilakukan tidak sedikit oknum pemangku kepentingan.
ICW (Indonesian coruption watch) dalam laman miliknya menampilkan data yang menunjukkan bahwa korupsi dana pendidikan di Indonesia terus berlangsung masif setiap tahun. Dan, korupsi lebih banyak dilakukan menggunakan modus penggelapan dan mark up dalam menyelewengkan dana alokasi khusus (DAK) maupun dana BOS (http://www.antikorupsi.org). Juga di daerah pelosok yang berhadapan dengan masalah rendahnya kemampuan baca tulis, banyak contoh kebijakan penganggaran yang terkesan mengabaikan kebutuhan urgen anak bangsa hanya untuk memuaskan kepentingan sempit oknum elit. Ironis memang. Anggaran yang mestinya bisa dimaksimalkan untuk menyasar perbaikan kualitas pendidikan yang menjadi kebutuhan mendasar anak bangsa ternyata acap kali dimanipulasi.
Dampak Buruk
Miris, persoalan rendahnya kemampuan baca tulis yang membelit banyak anak bangsa di daerah pelosok terkesan enggan disikapi pemangku kepentingan. Bahkan, tak jarang, kepentingan sempit oknum elit juga ikut menyandera kebijakan anggaran yang diarahkan untuk kepentingan anak bangsa. Sekolah dan orang tua juga cenderung ikut menganggap rendahnya kemampuan baca tulis anak bangsa sebagai persoalan remeh.
Padahal, jika anak bisa menulis dan membaca memaknai diwaktu yang normal, jendela pengetahuan sudah terbuka lebar baginya. Anak dapat memanfaatkan berbagai sumber pengetahuan terutama buku bacaan untuk membaca, membuat kesimpulan termasuk menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi yang didapat dari buku atau sumber pengetahuan yang lain sehingga pengetahuannya makin bertambah seiring dengan perkembangan kecerdasannya.
Sebaliknya, jika anak belum lancar membaca atau tidak bisa membaca dan menulis setelah melewati aktifitas pembelajaran membaca dan menulis permulaan (kelas I, II, dan III), akan banyak kerugian atau dampak negatif yang didapat oleh anak. Antara lain; Pertama, anak tidak optimal mengkonstruksi pengetahuan sehingga memiliki prestasi belajar yang relatif rendah. Kemampuan baca yang rendah akan membuat anak cenderung malas membaca sehingga memiliki minat baca yang rendah. Membaca hanya menjadi aktivitas yang sungguh membosankan bagi anak yang rendah kemampuan dan minat bacanya. Rendahnya minat baca yang sejalan dengan tidak optimalnya modal pengetahuan dasar menyebabkan siswa memiliki prestasi belajar yang relatif rendah.
Apalagi, arahan kurikulum yang mengatur pemberian konten pembelajaran secara bertahap mengikuti jenjang kelas dan satuan pendidikan mengharuskan peserta didik telah memiliki pengetahuan dasar yang mendukung sebelum mempelajari materi lanjutan di kelas atau satuan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga, anak yang belum lancar atau belum bisa membaca dan menulis setelah melewati kelas tiga SD akan kehilangan kesempatan untuk membangun pengetahuan dasar sebagai pengetahuan prasyarat sebelum mengkonstruksi pemahaman atau pengetahuan pada materi pembelajaran di kelas dan jenjang pendidikan berikutnya.
Pada posisi ini, tak jarang, memunculkan saling tuding dan lempar kesalahan antarjenjang pendidikan. Bapak dan ibu guru di SMA menuding para guru SMP tidak mampu membekali siswa dengan baik. Sebaliknya, bapak dan ibu guru di SMP menuding para guru SD melepaskan siswanya dalam keadaan yang tidak mendukung. Bapak dan ibu guru di SD juga kemudian ikut – ikutan menuding pengajar PAUD dan orang tua tidak mampu mengenalkan abjad pada anak sebelum memasuki SD. Lalu, ketika musim ujian nasional (UN) tiba, guru – guru, kepala sekolah, kepala dinas, bupati, dan berbagai pihak terkait menjadi ‘tegang’ dan berhadapan dengan situasi yang dilematis. Siswa yang kemampuannya terbatas, karena pengetahuan dasar yang terbatas didukung ketersediaan sarana pendukung belajar seperti buku cetak dan bacaan yang minimhingga kehadiran guru dan tatasekolah yang tidak maksimal, dipaksa mencetak nilai yang bagus agar wajah sekolah tak tercoreng. Jika nilai yang dicetak siswa rendah, citra dan reputasi guru mata pelajaran serta kepala sekolah jadi buruk termasuk wajah kepala dinas, bupati dan perangkat terkait juga ikut tercoreng. Maka, bim salabim…. Mujizat terjadi. Siswa yang kemampuan kognitifnya relatif tidak tinggi mampu mencetak nilai yang membanggakan di ijazahnya.
Oleh tidak sedikit pihak, kalau bukan karena faktor kebetulan akibat model soal UN yang berbentuk pilihan ganda, bisa jadi ada praktik kecurangan ujian nasional dengan beragam modus operandi yang masif, sistematis, dan terstruktur sehingga sulit diungkap. Gerardus K. Apeutung, salah seorang guru garis depan (GGD) yang ditempatkan di NTT bahkan menyebutkan UN sebagai ‘ujian kejujuran nasional’ akibat beragamnya modus operandi kecurangan dalam proses UN sebab kepentingan pertarungan gengsi antar pihak yang terbaca dari hasil UN berbenturan dengan kenyataan rendahnya kemampuan penalaran dan pengetahuan siswa (lihat Pos Kupang edisi 15 Maret 2016).
Akhirnya, sekolah yang mestinya membentuk siswa menjadi pribadi berkarakter takut Tuhan dan mampu hidup selaras dengan alam dan sesamanya telah membentuk manusia bermental instan yang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Miris memang. Hanya karena pengetahuan dasar tidak optimal terkonstruksi, dampak buruknya terus berlanjut hingga tidak sedikit sekolah yang mestinya ‘memanusiakan manusia’ jadi berpotensi terjebak dalam lingkaran setan kecurangan.
Kedua, akibat buruk jika anak memiliki kemampuan baca tulis yang rendah adalah perkembangan kemampuan kognitifnya menjadi tidak optimal. Menurut para pakar yang meneliti sistem kerja otak, jalinan koneksi antar sel otak akan bertambah, yang artinya kecerdasan juga ikut berkembang, jika otak mampu mengartikan/mengerti secara bermakna sesuatu informasi yang diperoleh baik melalui bacaan ataupun sumber belajar lainnya. Karena itu, kemampuan menulis dan membaca secara bermakna relatif mutlak untuk dimiliki tiap anak. Jika tidak, karena tidak mampu atau kehilangan kesempatan untuk menyerap informasi pengetahuan secara berarti/bermakna, perkembangan kognitif siswa relatif rendah.
Memang, sebenarnya tiap anak memiliki potensi kecerdasan yang jamak dalam dirinya. Howard Gardner menyodorkan pandangannya bahwa setiap siswa sebagai individu yang unik memiliki beragam jenis kecerdasan antara lain; kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis – logis, kecerdasan visual – spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestesis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial (lihat munif Chatib, 2015;hal 88). Semua jenis kecerdasan ini dimiliki tiap anak dengan porsi yang beragam. Sayangnya, sistem sekolah kita yang cenderung mendewakan aspek kognitif terkesan mengabaikan upaya penggalian dan pengembangan kemampuan siswa sesuai potensi kecerdasan yang dimilikinya. Sekolah formal dengan sistem pembelajaran dan evaluasinya yang cenderung mengarahkan outputnya (siswa) agar memiliki bentuk dan pola yang seragam akan menempatkan siswa yang bodoh, menurut cara pandang sistem sekolah formal (dan juga dunia kerja dan masyarakat), dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Siswa yang bodoh menurut cara pandang sistem sekolah formal adalah siswa yang kemampuan kognitifnya rendah. Artinya, anak bangsa yang belum lancar baca tulis hingga memasuki jenjang pendidikan lanjutan dengan modal pengetahuan dasar yang rendah akan digilas oleh cara pandang yang demikian. Dan, mereka memang akan tetap ‘bodoh’ dalam cengkraman sistem sekolah karena potensi kecerdasannya yang lain tidak akan terjamah.
Tetapi, hemat penulis, kemampuan baca tulis yang baik relatif mutlak untuk dimiliki setiap anak bangsa. Andai sistem sekolah ikut menyasar pengembangan potensi kecerdasan tiap anak bangsa yang beragam sekalipun, kemampuan baca tulis yang baik juga akan membuat potensi kecerdasan anak, apapun jenisnya, berkembang dengan optimal.
Ketiga, anak juga berpotensi terjebak dalam perilaku yang tidak bertanggung jawab.Anak yang prestasi akademisnya rendah, sesuai cara pandang sistem sekolah formal, biasanya cenderung untuk mengekpresikan dirinya tidak dengan mengandalkan kemampuan akademik. Apalagi, negara belum mampu menyediakan akses dan peluang untuk berprestasi di bidang non akademis (semisal olahraga, bermusik, melukis, menari, dll) secara merata dan menjangkau seluruh anak bangsa di penjuru negeri. Sehingga, tidak sedikit anak bangsa yang cenderung terjebak dalam perilaku tak bertanggung jawab yang oleh mereka dimaknai sebagai bagian dari upaya untuk mengekspresikan dirinya untuk menarik perhatian lingkungan sosialnya.Faktamenunjukkan bahwa tidak sedikit anak bangsa yang terjebak dalam penggunaan narkoba, seks bebas, hura – hura, dan perilaku tak bertanggungjawab lainnya cenderung memiliki prestasi hasil belajar yang relatif buruk di sekolah dan juga sekaligus tidak memiliki akses untuk berprestasi di bidang lainnya.
Yang terakhir, anak yang kemampuan baca tulisnya rendah, yang melanjutkan belajarnya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi dengan modal pengetahuan dasar yang tidak mantap, relatif berpotensi menjadi manusia yang tidak berdaya dengan kekayaan sektoralnya, dan, juga menjadi manusia yang berpotensi kehilangan kesadaran kritisnya ketika menjadi manusia dewasa.
Dalam waktu yang panjang, produk dari proses bersekolah yang tidak memberdayakan, sebagai akumulasi berbagai akibat ikutan yang sejalan dengan beberapa dampak buruk yang sudah diulasdi atas, akan memunculkan manusia yang minim pengetahuan dan ketrampilan dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi, seperti yang sudah saya singgung di atas, sistem pendidikan kita juga cenderung lebih menekankan pengembangan hanya pada aspek kognitif sehingga potensi kecerdasan anak yang beragam terkesan diabaikan. Akhirnya, denganpengetahuan dan ketrampilan yang tidak memadai, potensi sektoral yang ada di lingkungan tidak akan terjamah secara produktif dan bertanggungjawab.
Di banyak daerah pelosok Indonesia yang basis produksinya bergantung pada tanah, petani yang bekerja luar biasa rajin tetapi produktivitasnya tidak sebanding dengan tenaga, waktu, dan biaya produksi adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa pengetahuan memang dibutuhkan agar manusia bisa memberdayakan alam secara optimal. Ketergantungan petani pada bibit yang sarat rekayasa genetik dan tidak bebas bahan kimia, maupun pada pupuk kimia dan berbagai bahan anorganik lainnya yang sungguh sangat tidak ramah lingkungan (juga untuk kehidupan manusia sendiri) juga menjadi contoh bahwa pengetahuan yang tidak optimal membuat manusia tidak mampu hidup bersama alam.
Di pelosok Indonesia yang basis produksinya adalah pertanian (peternakan), cukup mudah mendapati mie, telur ‘ayam kota’, ayam potong, dan produk industri lainnya sebagai sayur keluarga dibanding makanan alami yang kaya nutrisi. Pangan lokal yang sehat dan cocok dengan kondisi iklim (seperti ubi kayu, jagung katemak dan bose, pisang, ubi ‘manusia’/sejenis ubi jalar, pucuk labu,kelor/marunggadan pangan lokal lainnya di Timor NTT) kini tergusur oleh kehadiran bibit padi, jagung, maupun sayuran yang diproduksi oleh industri untuk satu kali tanam sehingga petani terus bergantung pada pemodal setiap musim tanam. Hal yang sama juga terlihat saat petani di pelosok menjadi sangat bergantung pada pupuk kimia, pestisida dan obat – obatan anorganik produk industri yang kebutuhannya cenderung makin meningkat setiap periode tanam pada lahan yang luasnya tidak berubah.
Akhirnya, kapital (industri) yang cenderung dikuasai kapitalis menjerat manusia yang minim modal pengetahuandan ketrampilan menjadi manusia yang terus bergantung dan ‘terjajah’.Kekuatan ekonomi nasional yang tidak berdaya menghadapi gempuran kapitalisme global melalui agenda liberalisasi juga merupakan indikasi bahwa manusia yang lemah pengetahuan akan ‘terjajah’ dalam kompetisi ekonomi yang mensyaratkan pengetahuan dan teknologi sebagai modal dasar.
Kenyataan bahwa Indonesia, negeri agraris yang mayoritas rakyatnya petani, tetapi masih rutin mengimpor puluhan komoditi pertanian seperti beras, jagung, tepung tapioka, tepung gandum, minyak goreng, kacang kedelai, daging ayam, daging sapi, daging kerbau, susu, garam, dan komoditi lainnya dari Amerika serikat, Paraguay, Vietnam, India, Brasil, Australia, dan negara pengimpor lainnya, termasuk, struktur hukum yang ramah pada kekuatan kapital yang massif mengeksploitasi sumber daya alam kita dengan pajak dan royalti yang terlampau murah, adalah salah satu bukti bahwa, bukan hanya kekuatan politik – ekonomi kita yang takluk pada kekuatan asing, tetapi, juga indikasi bahwa jutaan anak bangsa yang minim modal pengetahuan dan ketrampilan cenderung untuk menjadi manusia ‘terjajah’ yang tumpul kesadaran kritisnya.
Menyandingkan partisipasi masyarakat pelosok dalam memengaruhi keputusan politik dan kebijakan penganggaran pembangunan agar berpihak dan menyentuh kebutuhan mendesak dengan kondisi faktual pembangunan adalah masalah lain yang menjelaskan dengan cukup baik soal tumpulnya kesadaran kritis yang penulis maksudkan. Gedung posyandu berbiaya puluhan hingga ratusan juta yang kebanyakan hanya digunakan satu kali setiap bulan untuk menimbang anak balita, di tengah – tengah masyarakat yang gagal panen dan kebutuhan sayurnya tidak tercukupi akibat kekurangan air adalah contoh kecil yang menggambarkan kondisi masyarakat yang demikian. Pengerjaan banyak proyek fisik yang sarat aroma korupsi mulai dari manipulasi kualitas dan harga (mark up) hingga penghematan biaya pengeluaran untuk mendapatkan material batu dan pasir yang berlimpah yang didapatkan dengan biaya pengeluaran yang relatif rendah dibanding biaya dalam rencana anggaran biaya (RAB) sehingga memunculkan cela konspirasi antar oknum elit untuk mendapatkan fee, setoran, atau sebutan sejenis sehingga anggaran terkesan digiring untuk tidak menyasar kebutuhan mendesak massa rakyat juga menjadi gambaran dari masyarakat yang tumpul kesadaran kritisnya.
Miris memang. Rendahnya kemampuan baca tulis anak bangsa ternyata memberi banyak pengaruh buruk. Tidak hanya memengaruhi upaya konstruksi pemahaman materi dan keterampilan pada kelas atau jenjang pendidikan lanjutan, tetapi juga pada kualitas kesadaran kritis dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, persoalan rendahnya kemampuan baca tulis anak bangsa di pelosok mesti dianggap sebagai masalah yang serius hari ini. Semoga dianggap begitu oleh setiap pemangku kepentingan.