Bukankah pendidikan itu penting? Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Atas Pendidikan sebagai hak asasi manusia, khususnya Pasal 28C ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui Pendidikan. Setiap orang berhak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya. Setiap orang berhak meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia”.
Ada juga aturan khusus untuk kaum perempuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 48 menyebutkan, “Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan”. Walau demikian, pada praktiknya perempuan seringkali mendapatkan tindakan diskriminasif sampai tindakan kriminalitas dengan latar belakang gender, budaya, kedudukan, dan peran perempuan di lingkungan masyarakat.
Tulisan ini bukan sekadar focus pada situasi saat ini tentang peran perempuan dalam dunia pendidikan akan tetapi mengacu pada bagaimana perjuangan perempuan-perempuan hebat untuk menyetarakan kedudukan kaum perempuan di dunia pendidikan. Menelisik kembali sejarah perjuangan perempuan Indonesia Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh pembaharu di bidang pendidikan perempuan, yang memiliki terobosan dalam mengajarkan pentingnya arti pendidikan bagi perempuan.
Kartini berhasil mendirikan sekolah khusus perempuan dan membangun perpustakaan, menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh penting di berbagai daerah untuk menyebarkan ide tentang pendidikan dan emansipasi wanita serta menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan untuk menjadi mandiri dan berkontribusi dalam masyarakat.
Mengapa ia memperjuangkan kemerdekaan pendidikan bagi perempuan? Pada masa kolonial, pendidikan bagi perempuan terbatas dan kecenderungan pola pendidikan yang berada di bawah tekanan kolonial yang menekankan pada pembentukan karakter domestik dan diuntukkan bagi kaum priyayi dan kaum pribumi laki-laki yang dianggap lebih penting dalam memelihara kestabilan kolonial.
Selama masa kolonial, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan yang membatasi akses pendidikan bagi masyarakat pribumi, termasuk perempuan. Sekolah-sekolah yang ada pada masa itu umumnya didominasi oleh kaum pribumi yang terpilih, dan akses bagi perempuan sangatlah terbatas. Pendidikan yang diberikan kepada perempuan lebih mengutamakan keterampilan domestik seperti memasak, menjahit, dan mengurus rumah tangga. Perempuan dianggap lebih cocok untuk peran domestik, seperti menjadi istri dan ibu rumah tangga.
Hal seperti itulah yang pada akhirnya terbawa sampai pada era modern saat ini. Data statistik tentang pendidikan bagi perempuan di Indonesia tahun 2020, tingkat partisipasi bruto perempuan di pendidikan dasar mencapai 98.74%, sedangkan di pendidikan menengah mencapai 103.25% (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Statistik dan Indikator Pendidikan Berwawasan Gender Tahun 2022/2023).
Meskipun terlihat ada peningkatan partisipasi, masih terdapat stigma dan stereotip yang melekat pada perempuan, terutama dalam pemilihan bidang studi yang dianggap lebih cocok bagi perempuan adalah kesehatan, psikolog, desainer, tata boga dan program studi yang berkaitan dengan pekerjaan domestik. Laki-laki lebih cocok untuk program studi filsafat, hukum, teknologi, teknik dan lain sebagainya yang berkaitan dengan perkembangan dunia.
Data menunjukkan, peran perempuan dalam dunia pendidikan sangatlah rendah selama tiga tahun berturut-turut. Pada tahun 2021 total perempuan sebagai terdidik di tingkat SD: 42,01%, SMP: 38,43%, SMA: 29,40%, SMK: 26,83%, Diploma: 38,32%, dan di universitas: 29,56%. Pada tahun 2022 berubah menjadi SD: 40,48%, SMP: 33,99%, SMA: 27,65%, SMK: 31,01%, Diploma: 42,54%, dan di universitas : 30,38%. Pada tahun 2023 bahkan menjadi SD: 44,37, SMP: 40,19%, SMA: 32,72%, SMK: 32,72%, Diploma: 35,70, dan di universitas : 30,67. Pada tahun 2021 lebih dari 50% guru di seluruh jenjang pendidikan adalah perempuan, namun hanya 45% guru perempuan yang menjadi kepala sekolah.
Di Ethiopia, pada tahun 2020/2021, hanya 12% perempuan sebagai pemimpin sekolah dasar dan menengah. Di Somalia, pada tahun 2019, hanya ada dua kepala sekolah perempuan. Dalam Survei Pengajaran dan Pembelajaran Internasional (TALIS) 2018, hanya 48% pemimpin sekolah menengah pertama merupakan perempuan.
Di Indonesia jumlah perempuan sebagai kepala sekolah di SDN/MI kurang dari 50 persen. Persentasenya kurang dari 20% di madrasah, lebih sedikit dibandingkan di SD. Fenomena ini disebut sebagai “Glass Ceiling” yang merupakan penghalang bagi kepemimpinan perempuan. Padahal dalam Survei INOVASI tahun 2018 menemukan bahwa guru perempuan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik dan kepala sekolah perempuan cenderung mempunyai manajemen sekolah yang lebih baik dan membangun lingkungan belajar yang lebih kondusif.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Tak bisa kita pungkiri bahwa garis patriarki di Indonesia bahkan di dunia sangatlah kuat dan kental sehingga sulit bagi kaum perempuan menjadi pemimpin dalam lapangan pekerjaan. Jika ada seorang perempuan yang berani memimpin akan ada stigma tentang kedudukan perempuan tersebut yang lebih cocok mengambil pekerjaan domestik dibandingkan mengambil pekerjaan yang membuatnya tidak menjadi perempuan sesungguhnya. Lantas bagaimana agar perempuan bangkit melawan segala ketidaksetaraan? Dengan melakukan pergerakan dalam diri sendiri, membaca tulisan ini dan melibatkan diri dalam membuat tulisan agar dibaca oleh semua kaum dan memotivasi semua perempuan.
Merujuk pada perkataan Dr. Neng Dara Affiah, M.Si, dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Dewi Candraningrum, Jurnal Perempuan dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal Rabu (29/10/24) yang mengusung tema Feminisasi Atas Gerakan-Gerakan Islam Perempuan Progresif di Indonesia “Perempuan adalah ibu kemanusiaan. Ia memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat sebagaimana kaum laki-laki. Tetapi dalam sejarah panjang kebudayaan manusia, hingga saat ini masih banyak yang tidak memposisikan perempuan sebagaimana mestinya’’.
Perkataan kedua perempuan tersebut berdasarkan fakta yang terjadi. Salah satu contoh kasus tindakan diskriminasi dan kriminalitas terhadap perempuan pembela hak pendidikan adalah Malala Yousafzai gadis Pakistan yang mendapat tembakan di wajahnya saat ia berada dalam bus sekolah karena dia telah berani melawan ketakutan dan memperjuangkan hak pendidikan perempuan pada tanggal 9 Oktober 2012.
Sebagai perempuan, kita pernah menjadi seperti Malala Yousafzai yang rela menerobos segala tembok penghalang demi mendapatkan kemerdekaan dalam dunia pendidikan. Saya pribadi, seorang perempuan yang memperjuangkan hak pendidikan sarjana di tahun 2020, ketika saya menjadi gap year setelah tamat SMK di tahun 2019 karena memilih mengalah dengan saudara lainnya yang sedang menikmati bangku perkuliahan, dengan mengambil pekerjaan di salah satu perusahaan swasta untuk mengisi waktu luang selama kurang lebih satu tahun.
Dalam benak terbesit sebuah pertanyaan gila, “Mengapa harus saya yang mengalah? Mengapa harus mimpi saya yang dikorbankan? Bukankah sewaktu sekolah dulu saya adalah anak yang berprestasi? Bahkan uang hasil lomba yang sering saya menangkan digunakan untuk membayar SPP? Lantas dari sekian banyaknya saudara mengapa harus saya?” Pemikiran tersebut membangkitkan emosi tersendiri kepada orang tua dan saudara-saudara. Melihat teman-teman sudah menjadi mahasiswa, membuat rasa bercampur aduk dengan iri hati dan kecewa.
Akhirnya di tahun 2020 saya memutuskan untuk mendaftarkan diri secara diam-diam di perguruan tinggi di program studi Ilmu Hukum melalui jalur SBMPTN. Alhasil mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga tahun 2024 menjadi seorang alumni dengan mengkritik dosen melalui tugas akhir yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Dilakukan Dosen Terhadap Mahasiswa Sebagai Salah Satu Syarat Lulus Perkuliahan” dan menjadi satu-satunya mahasiswa yang berani menerbitkan tulisan tersebut dan mendapat apresiasi dari para dosen hingga tulisan saya direkomendasi oleh dosen pembimbing kepada ketua program studi untuk dijadikan bahan ajar.
Rasa sakit dan kecewa dalam diri ini terbakar habis oleh ambisi dan semangat juang saya dalam menerobos segala stigma bahwa perempuan harusnya di sumur, kasur, dan dapur. Seharusnya sebagai perempuan kita jangan terbuai oleh budaya patriarki di Indonesia yang memposisikan kita di belakang atau sebagai pendamping laki-laki. Kita punya sepatu sendiri yang dipakai kaki kita untuk berdiri sejajar dengan laki-laki. Pendidikan bukan hanya tentang mengatur pola pikir kita tetapi membentuk budi pekerti dan menanamkan nilai luhur dalam diri kita, agar tidak menciptakan ruang yang diskriminatif kepada sesama melainkan ruang yang menjadi tempat bertumbuh dan menyamaratakan gender antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya mengutamakan tingkat intelektual semata, tetapi mengasah perjuangan kita untuk sama-sama berdiri pada payung hak asasi nanusia yang sama.
Tulisan ini mengajak semua kaum perempuan untuk terus berjuang tanpa mengalah. Tidak peduli apa status kita sekarang entah remaja, dewasa, janda, istri, ibu, atau orang tua sekali pun bukanlah penghalang bagi kita untuk mendapatkan pendidikan. Seperti kata Ir. Sukarno “Perempuan Itu Tiang Negeri”. Tanpa kita negeri ini rapuh tak bisa berdiri dengan kokoh. Jadi untuk menjadi tiang itu, mari kita isi jiwa dan raga kita dengan pendidikan yang bermutu, tingkah laku yang terdidik, pola pikir yang terstruktur, emosional yang cerdas, serta membongkar segala stigma terhadap kita. Dengan begitu akan melahirkan peradaban dunia yang berintelektual, ber-attitude, dan menjadikan penerus bangsa yang mengutamakan kesetaraan gender, berbudi luhur, dan menghargai perbedaan tanpa melihat suku, ras, agama, budaya, dan keyakinan. Mari menjadi perempuan seperti itu! *
Penulis: Maria Gracela Putri Resi
Editor: Heronimus Bani
Setelah saya membaca tulisan ini saya merasa wawasan saya sebagai seorang perempuan menjadi lebih terbuka dalam hal pendidikan walaupun dalam penerapannya menurut saya masih agak sulit untuk diterapkan. mungkin salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut yaitu status bagi kaum perempuan yang sudah menikah dan adanya batasan batasan dalam adat istiadat tertentu yang tidak bisa diubah, sehingga hak berpendapat perempuan menjadi lebih sempit untuk diungkapkan.
Pada akhirnya suara-suara yang lamah terbungkam oligarki, pelan-pelan muncul di permukaan tatanan sosial. Banyak telah mulai duluan, namun kita semua harus berani satu suara.
Saya satu suara dengan Maria Putri Resi, semangat meneriaki dan memperjuangkan hak-hak kita yang telah lama dirampas oleh dunia. Mulai dari diri kita sendiri, kita bersuara, kita lantangkan, dan teriakan.
Ayo perempuan hebat !!
Ayo kita semua bisa