Gibran Akibat, Bukan Sebab

Oleh: Erizal

Saat isu tiga periode muncul, Presiden Jokowi mengatakan bahwa isu itu seperti menampar wajahnya. Artinya, sejak awal isu itu bukanlah berasal dari dirinya. Justru isu itu berasal dari orang di sekelilingnya yang salah seorangnya Ketum PKB, Muhaimin Iskandar. Cawapresnya Anies Baswedan. Pengusung tema Perubahan.

Termasuk juga isu penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan. Kedua isu itu juga muncul sebab krisis akibat covid 19 yang saat itu, entah kapan akan berakhir? Alhamdulillah, kita bisa melewati krisis itu dengan baik dan mendapat pujian dari banyak pihak. Pengkritik Jokowi saat itu seperti tak mendapat tempat.

Kini, semua isu itu seperti ditimpakan kepada Presiden Jokowi seorang diri. Seolah memang dialah aktor dari isu itu. Taruhlah memang dia. Politik dari belakang layar, misalnya. Tapi Anda yang berada di sekeliling beliau, yang demikian terang benderang pasang badan, tak bisa serta merta cuci tangan. Lepas dari tanggung jawab.

Artinya, semua isu itu tak berada dalam ruang kosong. Ada krisis global di satu pihak, ada pula keberhasilan mengatasi krisis itu, dan ada persoalan pergantian kepemimpinan, serta ada pula Anda-anda yang tetap maunya berada di sekeliling kekuasaan, di pihak lain. Jadi tak adil kalau saat ini, semua beban isu itu ditimpakan kepada Jokowi seorang diri. Tak adil. Zalim.

Yang tampak jelas, memang Presiden Jokowi punya kepedulian atau diistilahkan, cawe-cawe, terhadap siapa yang menjadi penggantinya. Ia tak mau penggantinya justru meruntuhkan apa yang sudah dibangun. Ia tak mau mendukung Anies, misalnya. Itu karena sejak awal NasDem jalan sendiri, padahal masih berada di kabinet.

Apalagi, entah kenapa Anies menjadi simbol politik identitas yang bukan mustahil membuka luka lama yang telah dijahit dengan bersatunya Prabowo dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf. Lagian sejak awal, Anies seperti memposisikan dirinya sebagai antitesis Jokowi. Makanya wajar Anies tak mewakili ide keberlanjutan kabinet Jokowi.

Karena Anies sudah tampil sebagai penantang dari luar, maka harus ada pula yang mewakili jagoan dari dalam. Tak mudah, karena terlalu banyak nama. Kapal (koalisi) benar besar. Bisa dipecah dua. Sejak awal, PDIP lebih mengingini Puan, bukan Ganjar. Prabowo-Puan dinilai tak kuat menghadapi Anies. Pengusungnya sedikit pula.

Lalu, Jokowi terlihat mempersiapkan Ganjar. Tapi tiba-tiba, PDIP mengambil Ganjar bukan sesuai maunya Jokowi, tapi maunya Megawati. Ganjar diplot nomor satu dan tak bisa diusik lagi, karena merupakan partai pemenang. Ingin hattrick. Ide Prabowo-Ganjar tak dibeli. Bahkan, Prabowo pun tak bisa bertemu Megawati untuk membicarakan persoalan itu, hingga sekarang.

Bagaimana bisa, kita mengatakan Jokowi aktor tunggal dari semua ini? Mulai dari isu presiden tiga periode, hingga dicawapreskan Gibran. Bahkan, hanya untuk mengeluarkan satu calon saja dari koalisi pemerintahan, memasangkan Prabowo-Ganjar, misalnya, Jokowi tak kuasa. “Kanai ndak manga se” Jokowi. Jadi samsak.

Jadi, Gibran bukanlah sebab di awal, melainkan akibat di ujung. Sebabnya terlalu panjang dan tak bisa dijadikan satu yang muaranya hanya Jokowi seorang diri. Bahkan Gibran didaftarkan betul-betul di detik-detik terakhir, kalau-kalau masih ada tukar-tambah. Tapi, pada akhirnya, semua orang termasuk Jokowi, menyerah pada takdir sejarah yang akan dilalui negara-bangsa ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *