Awal September lalu, muncul protes publik atas tindakan SMAN 1 Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur mengembalikan sejumlah peserta didik ke orang tua. Surat pengembalian ke orang tua tertanggal Pada 26 Agustus 2024 tersebut berdasarkan keputusan rapat dewan pendidik di sekolah itu. Alasan mengembalikan siswa antara lain karena peserta didik tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar di sekolah atau melanggar melanggar tata tertib sekolah.
Persoalan pengembalian peserta didik ke orang tua tersebut disampaikan juga kepada saya dengan harapan bisa dikoordinasikan ke Dinas Pendidikan Provinsi NTT dan SMAN 1 Adonara Timur agar mempertimbangkan kembali keputusan pengembalian tersebut karena merugikan anak. Apalagi jika anak tersebut tidak mau pindah ke sekolah lain dan memutuskan untuk berhenti sekolah.
Atas keluhan tersebut, saya pun berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi NTT dan Kepala Sekolah SMAN 1 Adonara Timur guna mencari solusi bersama agar hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana perintah UUD 1945 dapat terwujud.
Berbagai upaya tersebut nyatanya belum mampu mengembalikan peserta didik untuk mengenyam pendidikan di SMAN 1 Adonara Timur. Pihak sekolah tetap kukuh pada keputusannya bahwa mengembalikan peserta didik ke orang tua adalah tindakan tepat dengan rupa-rupa alasan dan pertimbangan.
Pendidikan Adalah Hak Anak
Hemat saya, pemerintah memang tidak melarang sekolah untuk membuat peraturan/tata tertib sekolah beserta sanksinya, namun jika merujuk pada peraturan perundangan berikut ini, sekolah tidak seharusnya mengeluarkan peserta didik dengan alasan pelanggaran tata tertib yang dibuat sekolah apalagi bukan suatu tindak pidana.
Berikut rujukan peraturan-peraturan dimaksud, pertama; UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 bahwa menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Karena itu pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, tidak ada seorang pun bahkan negara dapat merampas hak pendidikan seseorang, karena sejatinya pendidikan merupakan hak dasar yang melekat pada individu sejak lahir. Pendidikan merupakan aspek penting dalam kehidupan, bahkan secara tegas disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski demikian masih banyak anak yang tidak memiliki akses atau bahkan diputus aksesnya untuk bisa mengenyam bangku pendidikan.
Kedua; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan dalam Pasal 1 Ayat (1) bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia anak pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Ketiga; Undang-Undang Nomor: 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak bahwa anak yang telah dijatuhi pidana penjara ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus anak dan berhak untuk memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan serta hak lain. Jika di dalam penjara saja, pendidikan baik formal maupun karakter, menjadi hal yang utama dan diberikan kepada seluruh penghuninya, maka kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah adalah keputusan yang tidak mencerminkan kebijaksanaan. Sekolah seharusnya menjadi wadah untuk melaksanakan pendidikan bagi siapa saja tanpa diskriminasi terhadap anak yang memiliki stigma nakal ataupun tidak.
Keempat; Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 Tentang wajib belajar Pasal 12 Ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar, wajib mengikuti program wajib belajar. Kelima; Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar telah menetapkan rintisan wajib belajar selama 12 tahun.
Keputusan Sekolah Kurang Tepat
Mengacu pada berbagai peraturan di atas, keputusan sekolah mengembalikan peserta didik ke orang tua kurang tepat. Sebab tujuan pendidikan sebagaimana ditegaskan Ki Hadjar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Hakikat pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan.
Keputusan mengembalikan peserta didik kepada orang tua untuk dibina memang merupakan penerapan sanksi atas pelanggaran tata tertib sekolah yang sebelumnya sudah disepakati semua pihak karena akumulasi poin pelanggaran tata tertib sekolah sudah melampaui batas score yang ditetapkan dalam tata tertib sekolah. Sekolah dalam mengambil keputusan pemberian sanksi berupa dikembalikan ke orangtuanya tentu juga sudah melalui berbagai pertimbangan dan persetujuan orang tua. Tetapi, pemberian sanksi dikeluarkan dari sekolah yang selama ini diterapkan dalam persekolahan kita perlu dikaji lagi.
Tugas pendidikan itu sangat mulia. Tugas mulia inilah yang diemban para pendidik dan tenaga kependidikan yang direpresentasikan dalam lembaga pendidikan bernama sekolah. Apabila mengeluarkan siswa dari sekolah masih dipergunakan dalam praktik pendidikan, maka tugas mulia pendidikan itu telah gagal diemban sekolah. Setidaknya sekolah yang merepresentasikan sebagai manusia dewasa telah gagal membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.
Alur berpikir semacam itu selama ini dijadikan pembenar dalam mengambil keputusan dan memang bisa saja diterima karena masuk akal. Tetapi, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa persekolahan kita sedang terjebak pada kubangan pragmatisme sempit yang mengangkangi falsafah pendidikan sepanjang hayat. Alih-alih membuat anak jera, malah sesungguhnya telah melanggar hak anak dalam melanjutkan pendidikannnya.
Pendidikan Karakter Tanggung Jawab Sekolah
Pendidikan karakter merupakan hal yang sangat penting diberikan kepada anak di samping pendidikan formal. Pendidikan karakter ini lah yang mengajarkan seseorang untuk berperilaku baik sesuai nilai moral yang berlaku di masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah berusaha memfokuskan pendidikan karakter di lingkungan sekolah dengan lima nilai karakter utama yaitu: religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan yang sesuai dengan Pancasila. Pendidikan karakter ini diharapkan dapat membentuk pribadi yang menjunjung nilai moral dalam bermasyarakat. Dengan demikian, sangat jelas bahwa sekolah merupakan salah satu unsur utama dalam membentuk karakter seseorang.
Sekolah ibarat pemahat yang akan membentuk karakter anak-anak didiknya. Sekolah sesungguhnya adalah tempat untuk mendidik budi pekerti anak-anak kita. Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia, yakni pengangkatan manusia ke taraf insani.
Jika dalam prosesnya ditemui penyimpangan, maka tugas pendidikan adalah mengembalikan mereka kepada jalur yang benar, bukan mengeluarkannya dari sekolah. Hukuman bagi siswa yang melakukan perilaku menyimpang harus diupayakan bisa menyadarkan mereka akan kesalahan, menuntun mereka ke jalan yang benar dan tidak mengulang kembali kesalahan.
Ketika anak-anak salah, janganlah sampai mereka merasa dibuang, tapi peluklah mereka dengan kasih sayang secara bersama. Ini adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, orangtua bahkan juga masyarakat. Kita Bisa.
*Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT