Saling Mendramatisir

Oleh: Erizal

Survei-survei biasanya lebih mudah dan akurat saat pasangan calon sudah punya nomor urut. Sebab surveyor di lapangan tinggal melihatkan kartu bantu mirip dengan kertas suara dan lalu bertanya ke responden, siapakah pilihan Anda? Dengan enteng responden menunjuk. Yang ini.

Tapi, survei-survei itu sudah menjadi perang tersendiri pula. Sesuatu yang mestinya makin mudah dan akurat, ternyata tak otomatis. Hasilnya, bisa begitu kontras dan berkelahi di ruang publik, lewat para polster, termasuk para jubir pemenangan. Tak ada yang rela di bawah.

Semua ingin berada di atas. Pertarungan yang begitu ketat diyakini, merekalah pemenangnya, bukan yang lain. Menangnya satu putaran pula. Kalau tidak, Pilpres curang. Semua cenderung begitu. Bila kalah, dicurangi. Belakangan, survei dari luar negeri pun dipakai. Survei dari dalam negeri, rusak. Bayaran dan banyak bohongnya.

Tapi seperti kebanyakan perdebatan, soal hasil survei ini hanya perdebatan di level elit. Pemilih tak terlalu terpengaruh, apalagi bisa mengubah pilihannya. Tak ada pemilih, memilih itu karena alasan surveinya unggul. Pemilih merasa puas memilih, meski kandidat yang dipilihnya, kalah.

Maka, menggugat legitimasi hasil Pilpres sejak awal, padahal Hari Pencoblosan sendiri masih lama, adalah tindakan yang kurang fair. Hanya kita saja yang layak menang, baru bisa dibilang Jurdil. Kalau kalah, curang. Berarti, elit yang tak siap berkompetisi. Rakyat siap. Kalah-menang.

Hebat sekaligus heran, melihat kesiapan rakyat kita ini. Hebat bukan ditempa oleh pendidikan, tapi pengalaman. Pendidikan bisa rendah, tapi pengalaman tinggi bisa memiliki pemikiran dan sikap tersendiri. Tak mudah diprovokasi karena tahu betul bahwa semua ini, tidak buat mereka.

Tak mudah dibodohi oleh elit yang mudah air matanya tumpah di depan kamera. Aktor hebat saja, kadang butuh alat bantu untuk menangis di depan kamera. Ini politisi yang “track record” bisa sewaktu-waktu terhempas, jika seseorang tertangkap, mudah menangis di depan kamera.

Asem betul. Maka, tak heran, putusan MK yang dibuka jeroannya oleh hakim MK sendiri, dan telah diputus oleh hakim MKMK bahwa semua hakim MK itu melakukan pelanggaran etik, tak terpengaruh sampai ke tingkat bawah. Rakyat tetap saja dengan pikiran dan sikapnya sendiri.

Ini karena elit yang berbicara moral kadang tak bermoral. Yang menuduhkan kecurangan ialah pelaku kecurangan itu sendiri. Saat ini menjadi lawan, sewaktu-waktu bisa menjadi kawan. Ini sudah dipahami rakyat. Yang saat ini bersama, dulu pernah menjadi lawan, begitu sebaliknya?

Jadi, tak usah saling mendramatisir. Termasuk, Presiden Jokowi sendiri. Mengatakan Pilpres banyak drama, tapi ia pelaku drama itu sendiri. Jangan pula lempar batu sembunyi tangan. Air mata buaya. Ketololan tak usah dipamerkan di depan. Tapi melihat rasa hormat Prabowo pada Megawati, rasanya tak ada basa-basi. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *