Puluhan massa yang tergabung dalam Forum Pemerhati Demokrasi (FPD) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten TTS, pada Senin (14/10/2024).
Aksi ini dipimpin oleh Dony Tanoen, koordinator Forum Pemerhati Demokrasi, dengan tujuan untuk mendesak kedua lembaga tersebut agar lebih tegas dalam menjaga integritas demokrasi di daerah ini.
Aksi yang berlangsung dari siang hingga sore hari ini melibatkan berbagai elemen masyarakat dan beberapa cipayung.
Massa aksi datang dengan membawa spanduk-spanduk besar yang berisi kritik pedas terhadap kondisi demokrasi di TTS, salah satunya bertuliskan, “Kami masyarakat pemuda/pemudi di TTS merasa muak karena demokrasi di daerah ini diperkosa oleh kepentingan oknum-oknum elit politik yang terselubung.”
Suasana di depan kantor Bawaslu semakin memanas dengan teriakan dan orasi penuh semangat yang menggambarkan rasa kecewa massa terhadap sistem pemilu yang mereka anggap penuh manipulasi dan ketidakadilan.
Para demonstran menilai bahwa lembaga-lembaga penyelenggara pemilu tidak menjalankan tugas pengawasan dengan baik, dan bahkan ada indikasi adanya pembiaran terhadap praktik-praktik yang merusak integritas demokrasi.
Massa aksi diterima oleh Dedan Atty, salah satu perwakilan dari komisioner Bawaslu Kabupaten TTS, yang menemui mereka di halaman kantor Bawaslu TTS. Setelah mendengarkan aspirasi massa, Dedan Atty mengundang perwakilan aksi untuk berdialog lebih lanjut di dalam kantor Bawaslu.
Dalam orasinya, Dony Tanoen menyampaikan berbagai keluhan yang dirasakan masyarakat terkait kelemahan pengawasan dan proses pemutakhiran data pemilih.
Salah satu kasus yang disorot adalah terkait kesalahan pencatatan data kependudukan Yohanis Tamonob. Menurut Dony, Yohanis Tamonob, yang masih hidup, justru tercatat sudah meninggal dunia dalam hasil pencocokan dan penelitian (coklit) pemilih yang dilakukan oleh Pantarlih di Desa Mnela Anen.
Dony mempertanyakan, “Apakah pemutakhiran data pemilih ini tidak diawasi oleh Bawaslu? Bagaimana bisa seorang warga yang masih hidup dicatat meninggal?” Ia menilai kelalaian dalam pencatatan ini menunjukkan bahwa Bawaslu tidak menjalankan tugasnya dengan serius, atau bahkan sengaja membiarkan kesalahan tersebut terjadi.
Pencalonan Salmun Tabun Jadi Sorotan
Selain kasus Yohanis Tamonob, Dony juga menyoroti proses pencalonan Salmun Tabun sebagai calon bupati TTS. Salmun, yang pernah dihukum sebagai terpidana, diduga tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 tentang pencalonan mantan terpidana. Dony menanyakan apakah KPU TTS sudah mematuhi ketentuan ini dalam proses verifikasi berkas calon bupati.
“Kami ingin tahu, apakah proses pencalonan Salmun Tabun sesuai dengan ketentuan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang mantan terpidana? Jika tidak sesuai, apakah Bawaslu menemukan pelanggaran? Jika iya, apa langkah-langkah yang telah diambil oleh Bawaslu hingga proses ini bisa sampai pada penetapan calon?” tanya Dony, yang merasa bahwa Bawaslu dan KPU belum cukup serius dalam mengawasi dan memastikan proses pencalonan berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Dony menekankan bahwa Bawaslu TTS harus bertanggung jawab atas kelalaian ini dan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat TTS.
“Kami menganggap Bawaslu TTS telah gagal dalam menjalankan tugasnya atau sengaja melakukan pembiaran, sehingga mereka harus meminta maaf kepada publik dan bertindak sesuai aturan yang berlaku,” tegas Dony.
Aksi ini juga menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyuarakan kekecewaan mereka terhadap praktik-praktik kotor yang menurut mereka terjadi selama proses pemilu. Salah satu orator mengungkapkan, “Kami muak melihat praktik-praktik kotor selama pemilu. Kami ingin demokrasi yang adil, transparan, dan jujur.”
Massa aksi menuntut agar Bawaslu lebih serius dalam menjalankan tugas pengawasan dan segera mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Mereka berharap agar hak-hak warga, seperti yang dialami oleh Yohanis Tamonob, dapat terlindungi dengan baik dan tidak dicederai oleh kelalaian atau manipulasi sistem.
Setelah mengadakan audiensi dengan perwakilan Bawaslu, para demonstran melanjutkan aksi mereka menuju kantor KPU Kabupaten TTS. Di kantor KPU, mereka diterima oleh komisioner KPU dan staf setempat. Kembali, mereka menyuarakan tuntutan yang sama agar KPU TTS bertindak transparan dan adil dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam pencalonan kandidat dan pemutakhiran data pemilih.
Setelah melakukan aksi, Dony Tanoen mengungkapkan bahwa Forum Pemerhati Demokrasi berencana melaporkan komisioner KPU Kabupaten TTS ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Selain itu, mereka juga akan menggugat surat penetapan calon bupati dan wakil bupati TTS ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang.
Langkah hukum ini diambil setelah FPD mendengar penjelasan dari Dedan Atty, komisioner Bawaslu Kabupaten TTS, yang menyampaikan bahwa Bawaslu telah memberikan saran perbaikan terkait pengumuman pencalonan Salmun Tabun yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2024 dan Juknis Nomor 1229 Tahun 2024.
Namun, menurut Dedan Atty, saran tersebut tidak diindahkan oleh KPU Kabupaten TTS, yang beralasan bahwa pengumuman tersebut sudah sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal 72 yang mengatur tentang calon dengan status mantan narapidana.
Dony menilai alasan tersebut tidak cukup kuat, dan menganggap bahwa KPU TTS hanya mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tanpa mempertimbangkan aturan teknis yang lebih rinci dalam PKPU dan juknis yang berlaku. “Komisioner KPU Kabupaten TTS ini tutup mata dengan juknis dan PKPU Nomor 8. Mereka hanya mau melihat UU Nomor 10 saja. Padahal aturan teknis itu lebih diatur dalam PKPU Nomor 8 dan Juknis Nomor 1229 Tahun 2024,” tambah Dony dengan nada geram.
Terkait dengan masalah data kependudukan Yohanis Tamonob, Dony juga mengungkapkan bahwa kesalahan tersebut bermula dari pengentrian data yang keliru oleh petugas Pantarlih di Desa Mnela Anen.
Meskipun petugas Pantarlih tidak memberikan kode “1” (meninggal) pada saat proses Coklit, namun data Yohanis tercatat sebagai pemilih yang sudah meninggal akibat kesalahan entri oleh petugas Pantarlih di tingkat desa.
Kesalahan entri data tersebut akhirnya menyebabkan nama Yohanis terbawa dalam usulan surat keterangan kolektif yang dikirim ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Akibatnya, nama Yohanis Tamonob pun dinonaktifkan dari data kependudukan. Setelah dilakukan penelusuran oleh Panwascam Amanuban Timur, kesalahan ini akhirnya diakui oleh petugas Pantarlih setempat.
Aksi ini berakhir dengan damai dan tertib, meskipun meninggalkan rasa kecewa mendalam di kalangan masyarakat TTS. Forum Pemerhati Demokrasi menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam jika praktik-praktik ketidakadilan demokrasi terus berlangsung di wilayah ini.
Mereka berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini dan memastikan bahwa demokrasi di TTS dijalankan dengan adil, transparan, dan bebas dari manipulasi kepentingan politik.
Masyarakat TTS kini menantikan langkah konkret dari Bawaslu dan KPU untuk menanggapi tuntutan ini.
Jika tidak ada tindak lanjut yang memadai, FPD berencana untuk menggelar aksi lanjutan untuk memperjuangkan keadilan dan integritas sistem pemilu di daerah tersebut.
Aksi ini juga mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat, khususnya kalangan muda, terhadap pentingnya menjaga integritas demokrasi dan menuntut pemilu yang bebas dari kepentingan politik yang merusak.
(Ardi Selan)