Jokowi Bermain Dua Kaki?

Oleh: Paulus Mujiran

PUBLIK gaduh oleh langkah politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bermain politik dua kaki. Minggu (22/10) Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berisi Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, Gelora, dan Partai Garuda mengumumkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto. Kini teka-teki yang menggelayut di benak publik bahwa Jokowi bermain dua kaki dan akan ”cawe-cawe” dalam Pilpres 2024 mendatang itu terbukti.

Campur tangan Jokowi, baik di KIM maupun koalisi Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sebenarnya sudah terbaca jauh sebelumnya. Jokowi memang tidak hadir pada saat pengumuman Mahfud sebagai bacawapres. Namun, sebelumnya pada 21 April 2023 Jokowi hadir pada pengumuman Ganjar sebagai bacapres PDIP di Istana Batutulis Bogor.

Tudingan bermain dua kaki bermula dari endorse Jokowi kepada Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Seperti ”Pemilu 2024 adalah tahunnya Pak Prabowo Subianto”. Di kesempatan yang berbeda, seperti di Rakernas IV PDIP (1/10), kepada Ganjar dinyatakan, begitu dilantik sebagai presiden, tidak menunggu lama langsung bekerja.

Kini, terhadap masuknya Gibran ke KIM, Jokowi beralasan dia sudah dewasa sehingga berhak menentukan sendiri masa depannya. Orang tua hanya merestui dan mendoakan. Namun, sikap politik Jokowi yang mendua dan cenderung cawe-cawe ini punya sejumlah sebab.

Pertama, Jokowi ingin memastikan bahwa Prabowo maupun Ganjar benar-benar maju sebagai calon presiden karena keduanya telah memiliki kendaraan politik untuk maju. Ganjar diusung PDIP, PPP, Perindo, dan Hanura. Sementara Prabowo diusung Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, Gelora, dan Partai Garuda. Saat ini elektabilitas Prabowo dan Ganjar bergantian di antara urutan pertama dan kedua dengan selisih sangat tipis di beberapa lembaga survei.

Sikap mendua yang ditunjukkan kepada publik dengan mendukung Prabowo dan Ganjar bisa jadi merupakan sikap hati-hati Jokowi. Ganjar adalah kader PDIP yang sudah ditunjuk langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi bacapres. Sebagai kader PDIP tentu saja Jokowi tegak lurus mendukung apa pun keputusan ketua umum.

Namun, pada saat yang sama Jokowi ingin bermain aman. Dengan tiga pasang calon, besar kemungkinan pilpres berlangsung dua putaran. Pada putaran kedua bisa Prabowo-Gibran melawan Anies-Muhaimin atau bahkan dimainkan kubu ”all Jokowi final”, yakni Prabowo-Gibran melawan Ganjar-Mahfud. Ini tidak lepas dari kepuasan publik terhadap Jokowi di kisaran 70–80 persen yang harus dilanjutkan presiden berikutnya.

Kedua, terkait dengan kesinambungan pembangunan yang telah dicanangkan JokowiJokowi perlu memastikan bahwa pembangunan, terutama infrastruktur, Ibu Kota Nusantara (IKN) benar-benar dilanjutkan penggantinya. Jokowi juga belum dapat memastikan siapa yang akan memenangi Pilpres 2024, apakah Ganjar, Prabowo, atau Anies, karena mereka harus bertarung dan berebut suara rakyat.

Meng-endorse Anies tidak mungkin karena Anies sudah mendeklarasikan sebagai antitesis JokowiJokowi pasti menyadari, dengan melepas Gibran dipinang kubu Prabowo, suara konstituen akan terbelah antara mendukung Prabowo dan Ganjar. Namun, itulah pilihan paling rasional pada saat ini. Bahkan, bisa jadi suara Prabowo tergerus karena terdapat dua kader PDIP di dua koalisi. Sejumlah lembaga survei sudah memprediksi, jika putaran kedua adalah Prabowo-Gibran melawan Ganjar-Mahfud, suara pendukung Anies-Muhaimin akan beralih mendukung Prabowo.

Ketiga, Jokowi ingin memastikan bahwa presiden mendatang tetap melindungi dirinya sebagai mantan presiden dan keluarganya. Meyakinkan bahwa pemimpin mendatang berasal dari kubunya. Oleh karena itu, diperlukan sosok yang mengerti dan mau diajak kerja sama. Maklum, Jokowi bukan ketua umum partai dan ”hanya” petugas partai. Strategi memasang anaknya, Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah salah satu cara untuk itu juga.

Keempat, ada pula analisis yang mengatakan, dukungan terhadap Prabowo karena Jokowi ingin memberi kesempatan kepada Prabowo satu periode 2024–2029. Setelah itu diharapkan Prabowo memberikan kesempatan kepada Gibran menjadi presiden periode berikutnya.

Namun, dukungan terhadap Ganjar dan Prabowo bukan tidak menyisakan persoalan. Jokowi dapat dianggap turut cawe-cawe alias campur tangan dalam Pilpres 2024. Meski tidak melanggar aturan dan undang-undang, tetap akan dianggap mengotori demokrasi. Kenegarawanan Jokowi dipertanyakan karena cenderung mengamankan kekuasaan. Kesan bahwa para kandidat yang bertarung sudah direkayasa kekuasaan membuat pesta yang fair play ternoda.

Jika akhirnya pihak yang didukung Jokowi, yakni Prabowo atau Ganjar, yang menang dan pihak lawan yang kalah, pemilu akan dianggap kurang sah. Sebab, ada campur tangan kekuasaan. Situasi itu rentan gugatan dan konflik.

Dukungan terhadap kedua kandidat juga akan melahirkan militansi di kubu lawan dan berusaha keras untuk memenangi pertarungan. Itu membahayakan demokrasi karena segala cara akan dilakukan. Oleh karena itu, agar dinamika politik yang mulai menghangat ini tidak cenderung makin panas, ada baiknya para elite menahan diri. Sekali lagi kenegarawanan Presiden Jokowi patut digugat dan dipertanyakan! (*)


*) PAULUS MUJIRAN, Pengamat politik, alumnus Pascasarjana Undip Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *