Lidia Imelda Tolnel: Perempuan Pendiam, Bicara Lewat Tindakan

Oleh: Simon Seffi

Setiap pagi sebelum langkah-langkah siswa dan guru menuju sekolah, Lidia Imelda Tolnel sudah lebih dulu bergegas. Meski tubuhnya terbilang kecil dan tidak tinggi, langkah kakinya selalu ringan membawa semangatnya yang besar untuk mengabdi di SMA Negeri 2 Fatuleu Barat, sekolah yang sudah belasan tahun ada di Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, NTT. Lidia selalu hadir pagi sekali ketika lingkungan sekolah yang agak masuk ke kawasan hutan belakang perkampungan itu masih sepi.

Penulis yang juga mengajar di SMA Negeri 2 Fatuleu Barat selalu hafal, jika Lidia lewat untuk menuju sekolah, berarti waktu belum dekat setengah 7. Dia selalu rajin dan tidak pernah absen. Jika tidak muncul di sekolah, pasti karena sakit atau ada halangan yang mendesak, yang sudah disampaikan sehari sebelumnya kepada kepala sekolah.

Sejak 2019, selepas 2 tahun tamat dari SMA Negeri 2 Fatuleu Barat, Lidia yang merupakan bagian dari keluarga tuan tanah yang menghibahkan secara gratis tanah seluas sekira 5 hektar untuk SMA Negeri 2 Fatuleu Barat mulai bekerja sebagai Tenaga Kependidikan (Tendik) Tata Usaha (TU) berstatus honorer. Tidak hanya mengurusi administrasi surat menyurat, Lidia juga mengurusi kebersihan kantor dan sejumlah kerja teknis lainnya.

Tidak pernah bicara duluan, hanya menjawab pendek jika ditanya, Lidia bekerja dengan sangat baik. Hampir semua guru suka usil dan ‘main gila’ dengan Lidia, hanya untuk melihatnya tersenyum kecil. Bapak kepala sekolah dan semua guru senang pada Lidia. Lidia begitu pendiam sehingga tidak banyak yang benar-benar memahaminya. Tetapi semua guru dan kepala sekolah sepakat: kinerjanya sangat baik.

Lidia juga sangat tertutup, sehingga hampir tak satupun yang mengenalnya tahu persis apa yang dialaminya. Keluarganya yang sederhana, mamanya yang sudah menjanda sejak lama bersama beberapa saudaranya, juga sulit menebak jalan pikirannya.

Sekira beberapa waktu lalu, Lidia tiba-tiba tak muncul di sekolah tanpa alasan yang jelas. Beberapa hari kemudian kami menduga Dia mengalami sesuatu hal yang sangat mengganggu kenyamanan atau keamanannya di lingkungan kerja kami, yang tidak ingin dia sampaikan atau ceritakan. Bahkan beberapa guru sampai menduga Lidia mengalami tindakan kurang ajar di lingkungan sekolah ketika suasana masih sepi. Sebab, dua kali ada yang melihat Lidia bergegas pulang dari sekolah sambil menangis. Sebenarnya saat kali pertama mengetahui Lidia bergegas pulang sambil menangis, beberapa guru sudah berusaha bertanya. Dia hanya menjawab, ada gangguan. Berulangkali ditanyai, jawabannya selalu begitu. Setelah itu penulis melihat Lidia biasa ditemani salah satu saudaranya ke sekolah, tetapi kemudian mulai kembali sendiri, ketika dirinya mungkin merasa aman.

Sampai suatu ketika ada yang melihatnya kembali pulang dari sekolah sambil menangis, yang setelahnya Lidia tidak pernah muncul di sekolah. Setelahnya, tiba-tiba kami tahu kalau Lidia sudah ke Bali, tanpa informasi untuk berhenti. Bapak kepala sekolah sempat merasa kecewa karena Lidia berperilaku seperti ‘datang permisi, lalu menghilang tanpa pamit’, tetapi secepatnya menyadari pasti ada yang membuatnya merasa tak nyaman, atau bahkan mungkin tak aman, yang tidak diketahui bahkan oleh keluarga intinya sendiri. Sebab kemudian kami juga tahu, peristiwa ketika dirinya menangis dan bergegas pulang dari sekolah itu tidak pernah diketahui oleh mama dan saudara-saudaranya sendiri.

Sampai ketika ada informasi seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Pemerintah Provinsi NTT tahap 2 tahun 2024 beberapa waktu lalu, ternyata nama Lidia juga ada dalam undangan. Oleh hampir semua guru dan kepala sekolah, karena mempertimbangkan kinerjanya yang baik, dan juga karena Lidia adalah bagian dari keluarga tuan tanah yang sudah menghibahkan lahan secara gratis untuk negara, kami semua memutuskan untuk membujuk Lidia agar bisa mengikuti seleksi PPPK. Seperti yang disampaikan Pak Atder Yusuf Nebnoni, salah satu guru di SMAN 2 Fatuleu Barat yang orang tuanya ikut terlibat dalam menghibahkan tanah dan mendirikan sekolah, orang tuanya bersama beberapa tetua yang sudah meninggal sangat mengharapkan agar keterwakilan keluarga yang terkait dengan keberadaan lahan tersebut juga bisa bekerja di sekolah. Pak Atder Yusuf Nebnoni menjelaskan, Lidia sendiri adalah cucu dari keluarga yang juga terkait secara langsung dengan keberadaan lahan yang telah dihibahkan kepada sekolah, yang sampai saat ini belum ada satupun dari mereka yang bekerja di SMA Negeri 2 Fatuleu Barat.

Karena itu, dua hari berturut-turut penulis dan beberapa rekan guru membujuk Lidia. Keluarganya juga ikut kami libatkan untuk membujuk. Di hari kedua, sehari menjelang deadline waktu pendaftaran, baru Lidia bersedia. Itu juga karena ada beberapa alasan personal, berkaitan dengan kepentingan keluarga mereka, yang digunakan untuk membujuk. Penulis tahu persis bagaimana Lidia selalu merasa terikat dengan kepentingan keluarganya. Pernah penulis bawa Lidia untuk bekerja dengan salah satu teman muslim yang punya warung makan di Oesao, sekira 2 jam perjalanan dari tempat tinggal kami saat ini, Lidia hanya bisa bertahan pada 2 minggu pertama. Lidia sampai sakit karena selalu sedih jika ingat pada keluarga dan neneknya yang saat itu belum meninggal. Teman pemilik warung terpaksa memulangkannya dengan gaji dibayar full sebulan ditambahi sejumlah bonus karena terkesan dengan kinerja Lidia, meski masa kerjanya sangat singkat.

Kami kukuh membujuk Lidia juga karena keikutsertaannya dalam seleksi PPPK sama sekali tidak mengganggu hak peserta lain di sekolah kami. Sebab Lidia satu-satunya Tendik TU di sekolah kami dan namanya ada dalam undangan untuk ikut, semua dari kami mendukung agar dirinya bisa mengikuti seleksi PPPK. Ada dua saudaranya, FT dan RT, yang kemudian membantu mendaftar di rumah penulis, karena tersedia perangkat starlink untuk internet di rumah penulis.

Akhirnya, minggu lalu, ketika hasil seleksi administrasi PPPK Pemerintah Provinsi NTT tahap 2 diumumkan, Lidia lulus untuk mengikuti tahapan seleksi selanjutnya. Dan, ternyata kelulusannya dipersoalkan. Ada pihak yang menilai Lidia sebagai Tendik siluman di SMA Negeri 2 Fatuleu Barat, juga menuding telah terjadi pemalsuan tanda tangan berkas oleh guru berinisial SS atas arahan kepala sekolah untuk memudahkan Lidia, yang kemudian membuat Lidia memutuskan untuk tidak mengikuti lanjutan proses seleksi. Lidia yang tertutup, dan pendiam, dan rapuh, ternyata juga merasa sangat bersalah ketika inisial nama guru matematika semasa sekolahnya, dan kepala sekolah yang sudah dianggapnya sebagai  orang tua, ikut disebut dalam pemberitaan sejumlah media online. Harapannya, harapan keluarganya, juga harapan keluarga besarnya agar Lidia bisa ikut bekerja di SMA Negeri 2 Fatuleu Barat dengan penghargaan yang layak sebagai pengakuan pemerintah atas kontribusi mereka untuk sekolah sepertinya akan padam begitu saja.

Tokoh Masyarakat di Desa Poto Pasti Dukung Lidia

Dalam pemberitaan sejumlah media online, ada tokoh masyarakat berinisial NN yang mempersoalkan keikutsertaan Lidia Imelda Tolnel dalam seleksi PPPK Pemerintah Provinsi NTT tahap 2 tahun 2024/2025. Dalam diskusi bersama dengan kepala sekolah, ketua komite sekolah, dan sejumlah guru pada Sabtu (22/02/2025), penulis meyakini bahwa NN, bisa jadi adalah inisial yang digunakan media untuk pelapor yang ingin namanya dianonimkan atau no name (tanpa nama). Sebut saja NN sama dengan No Name. Penulis secara pribadi meyakini, pelapor tersebut bukan tokoh masyarakat, yang tidak secara objektif memahami kinerja baik dan kondisi Lidia, yang juga tidak memahami benar soal SMA Negeri 2 Fatuleu Barat dan sejarah pendiriannya, yang hanya secara sengaja mengaku dirinya adalah tokoh masyarakat untuk melaporkan Lidia dan pihak sekolah karena motif atau kepentingan tertentu.

Sebab, yang penulis ketahui, sejumlah tokoh masyarakat maupun tetua di Desa Poto saat ini yang terkait dengan keberadaan SMA Negeri 2 Fatuleu Barat baik dalam proses pendirian maupun karena keberadaan lahan sekolah adalah orang-orang yang secara hubungan keluarga berstatus om (paman) maupun bai (kakek) dari Lidia. Yang tidak terkait dengan keberadaan sekolah juga sebenarnya punya hubungan yang sama. Beberapa tetua dan tokoh masyarakat itu antara lain Bapak Nahor Nifueki, Bapak Yohanis Tapatab, Bapak Sakarias Boy, dan sejumlah orang tua yang lain. Mereka dipanggil bai/kakek oleh Lidia. Sementara di lingkungan sekolah, ada dua tokoh muda yang berstatus sebagai om dari Lidia yakni Pak Fendi Nifueki dan Pak Atder Yusuf Nebnoni. Keduanya sering dipanggil to’o atau om oleh Lidia.

Dalam perspektif orang Timor, sapaan om dan bai tidak hanya ditujukan untuk pihak keluarga yang dianggap sebagai laki-laki atau atoni. Om atau to’o (mengikuti sapaan orang Rote) adalah atoin amaf dan bai atau kakek bisa diposisikan sebagai am uf untuk menggambarkan peran mereka sebagai pelindung, pengayom, dan peran lain sejenis yang dalam bahasa atoin meto disebut sebagai atukus (yang melindungi), apaot (yang menjaga), amafot (yang menaungi), dan sebutan lain semacam.

Karena itu, bagi tokoh-tokoh yang penulis sebutkan di atas, Lidia adalah bagian dari ‘isi perut’ mereka sendiri. Begitu juga untuk siapapun tokoh masyarakat di Desa Poto, Lidia adalah bagian dari diri mereka sendiri sehingga sangat tidak elok, dan juga tidak bijaksana, jika mereka sendiri yang kemudian mempersoalkan keikutsertaan Lidia dalam proses seleksi PPPK untuk bisa bekerja di SMA Negeri 2 Fatuleu Barat dengan penghargaan yang layak dari pemerintah. Jelas saja NN atau No Name ini bukan tokoh masyarakat yang memang tidak memahami dengan baik soal keberadaan SMA Negeri 2 Fatuleu Barat, dan juga tidak memahami seluk beluk kehidupan (monit) dari orang Timor yang biasanya habis-habisan menempatkan diri sebagai apaot, amafot, maupun atukus untuk siapapun yang menjadi ‘isi perut’ mereka.

SMAN 2 Fatuleu Barat Gelar Rapat, Tanggapi Pemberitaan Terhadap Lidia 

Pihak SMA Negeri 2 Fatuleu Barat pada Sabtu (22/02/2025) siang menggelar rapat untuk menentukan sikap terkait pemberitaan sejumlah media online yang mempersoalkan keikutsertaan Lidia Imelda Tolnel dalam seleksi penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Pemerintah Provinsi NTT tahap 2 tahun 2024/2025.

Dipimpin Kepala SMA Negeri 2 Fatuleu Barat, Bapak Ambrosius Jamon, rapat juga dihadiri Ketua Komite Sekolah, Bapak Kristofel Taiboko.

Dalam rapat, Bapak Ambrosius menegaskan, tidak ada satupun tanda tangan pada berkas-berkas pendaftaran Lidia yang dimanipulasi.

“Saya sebagai kepala sekolah tahu betul dan mendukung keikutsertaan Lidia sehingga saya pastikan bahwa tanda tangan saya tidak pernah disalahgunakan atau dimanipulasi oleh siapapun berkaitan dengan kepentingan keikutsertaan Lidia dalam seleksi PPPK” tegas Bapak Ambrosius.

Bapak Ambrosius juga menyampaikan, setelah adanya pemberitaan media beberapa hari terakhir, Lidia telah menyampaikan keinginannya untuk tidak mengikuti lanjutan proses seleksi PPPK dan telah siap untuk membuat surat pernyataan tidak mengikuti lanjutan proses seleksi PPPK. Bapak Ambrosius lantas meminta tanggapan para guru terhadap keinginan Lidia.

Pantauan penulis, mayoritas guru sepakat untuk mengembalikan keputusan keikutsertaan dalam seleksi PPPK Pemerintah Provinsi NTT tahap 2 tahun 2024 kepada Lidia.

“Jika Lidia memutuskan untuk tetap mengikuti lanjutan seleksi PPPK, kami semua akan mendukung penuh keputusannya, dan bersedia memberikan klarifikasi kepada pemangku kepentingan jika diperlukan.” begitu kata beberapa guru.

 

*Simon Seffi adalah guru di SMAN 2 Fatuleu Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *