Tema rekonsiliasi selalu menjadi tema sentral dari masa ke masa. Tak hanya masa reformasi, masa sebelum reformasi, bahkan sebelum kita merdeka pun, agaknya tema rekonsiliasi ini jadi tema penting. Sebab, kita adalah bangsa besar.
Wilayah, jumlah penduduk, etnisitas, golongan, budaya, agama, pokoknya, segala besar. Tak ada yang kecil. Makanya, tema rekonsiliasi jadi tema yang tidak saja sentral, penting, tapi juga relevan. Tema ini tak hanya sekadar gagah²an.
Bahkan, setelah Pilpres 2024 nanti pun, tema rekonsiliasi masih relevan. Rekonsiliasi antara Jokowi dan Megawati, misalnya. Terkesan personal, tapi di belakang nama besar ini, ada kelompok besar juga yang mesti direkonsiliasi.
Artinya, rekonsiliasi di negara kita tak kunjung usai. Ada saja masalah. Keadaan tak kunjung pulih. Perbedaan (konflik) dua orang atau lebih, selalu terjadi. Karena itu, mungkin bangsa kita tak kunjung maju. Sebatas bangsa rekonsiliasi.
Siapa yang menyangka, Jokowi dan Megawati akhirnya berpisah jalan. Dulu usai Pilpres 2019, rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Dua kali Pilpres, dua kali rakyat terbelah dua, yang diwakili dengan istilah, cebong dan kampret.
Kini, cebong dan kampret belah tiga. Sebagian kampret pindah ke Anies, sebagian lain masih tetap bersama Prabowo. Sebagian cebong lari ke Prabowo, sebagian lain ada bersama Ganjar. Wajar, kalau elektabilitas Prabowo ada di atas.
Untung, keterbelahan bukan lagi karena faktor agama. Politik identitas, misalnya. Rekonsiliasi tak terlalu dalam. Sampai ke bawah-bawah, ke akar rumput. Balik pada situasi semula itu sulit. Saat ini, juga bisa terulang jika elit ada tak niat.
Tapi, semua masih dinamis. Ketegangan masih wajar. Pilihan Jokowi kepada Prabowo dengan adanya Gibran, jadi pangkal bala. Putusan MK, juga MKMK, sekadar pemicu. Tanpa putusan itupun, ketegangan sudah terjadi diam-diam.
Narasinya saja yang bertambah. Dinasti politik, azas kepatutan, etika, pembegalan konstitusi, nurani, pelibatan aparat, pemilu curang, orde baru gaya baru, pengkhianatan, dan sejenisnya. Bedanya, semua pihak ada dalam kekuasaan. Ini lucu. Sama² berkuasa, tapi merasa dizalimi.
Untung, ketiga Capres; Anies, Prabowo, Ganjar, masih bisa duduk satu meja dengan Jokowi. Peralihan kekuasaan (Presiden) masih aman. Tapi, king maker masih jalan sendiri². Prabowo sampai saat ini belum bisa ngobrol dengan Megawati. Jokowi dan Megawati juga belum bertemu lagi.
Dulu, antara SBY dan Megawati. Sampai saat ini, tak kunjung terekonsiliasi. Masih mending tak ada tambahan isu seperti putusan MK dan MKMK. Lebih dominan soal perasaan, merasa dikhianati. Pemilu curang, keterlibatan aparat, terus digasak. Jika Elu menang, berarti curang.
Takut kalah? Iya. Tapi mengorbankan sesuatu yang besar, tak bijak. Yang dilakukan, diklaim yang besar pula. Bukan tentang ini dan itu, tapi tentang semua. Framing saja. Tak menjalar ke bawah. Rekonsiliasi masih mudah, kalau tak kelewat batas. Tapi, itu ke itu sajalah, kerja kita. Kapan majunya?