Sejarah Nama Amfoang

Oleh: Simon Seffi

Amfoang merupakan salah satu bekas daerah swapraja yang ada di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Banyak orang mengetahui Amfoang karena kondisi jalur transportasi daratnya yang ekstrim di musim penghujan. Didukung akses signal seluler yang buruk dan ketiadaan jaringan listrik di banyak kampung di sana, Amfoang jadi makin ‘terkenal’. Bahkan, dianggap sebagai tempat ‘buangan’ bagi Abdi Negara yang bermasalah oleh oknum elit tertentu. Sebagian yang lain mengakrabi Amfoang karena sumber dayanya yang menjanjikan. Ribuan ekor sapi yang ikut memenuhi kebutuhan daging warga kota juga dibawa dari Amfoang. Hasil hutan yang dibawa dari Amfoang juga mengakrabi warga kota. Hasil hutan non kayu semisal Madu, malah jadi primadona. Madu Amfoang punya nilai jual, Madu Amfoang dikenal, Amfoang dikenal.

Amfoang dikenal dan disebut seperti yang kita lakukan saat ini. Tak bermaksud menggugat, tulisan ini hanya berusaha memberitahu nama yang sebenarnya dan dugaan asal mula kesalahan penyebutannya. Tentu, maksud ini bersandar pada kisah yang disodorkan oleh banyak tetua. Dalam beberapa interaksi bersama beberapa tetua yang mengakui memahami sejarah kerajaan Amfoang, penulis seringkali mendengar mereka menyebut Amfoan, tanpa huruf g, ketika merujukkan maksudnya pada bekas kerajaan yang kita kenal sebagai Amfoang. Menurut mereka, nama kerajaan Amfoan mengikuti nama raja pertama kerajaan Amfoan yang terbentuk jauh sebelum masa penjajahan yakni Foan Sila yang biasa disebut Am Foan, yang artinya Bapak Foan. Am adalah bahasa dawan dari Bapak.

Sumber tertentu menyatakan, Amfoan kemudian dikenal dan disebut sebagai Amfoang akibat kesalahan penulisan dan penyebutan petugas pemerintah masa awal kemerdekaan dalam proses administrasi negara saat itu. Kesalahan tersebut kemungkinan besar mengikuti penyebutan dan penulisan yang sudah umum dalam berbagai dokumen Belanda akibat kesalahan penyebutan utusan pemerintahan Hindia Belanda saat bertemu raja Masu Tei Afoan (Usi Molo II) di Oelnaineno sekitar pertengahan tahun 1700 an. Oelnaineno saat ini berada dalam wilayah kecamatan Amfoang Utara, dan tempat  tinggal utusan Belanda saat itu sebelum bertemu raja Masu Tei Afoan disebut Mnela Kaes Muti hingga hari ini, yang artinya tempat rata/dataran orang kulit putih.

Sedikit Kisah Soal Swapraja Amfoang

Dalam beberapa sumber, disebut Amfoang saat ini merupakan wilayah swapraja saat awal masa pemerintahan Indonesia yang mengikuti penetapan wilayah keswaprajaan yang dilakukan oleh Belanda dalam perjanjian pendek (Korten Verklading) yang ditandatangani oleh raja Amfoan pada tanggal 20 Mei 1925. Dalam administrasi pemerintahan Belanda saat itu, swapraja Amfoang berada dalam onderafdeling Kupang, salah 1 dari 6 onderafdeling dalam afdeling Timor dan pulau – pulau sekitarnya.

Status swapraja, sesuai janji pemerintah Belanda saat itu, merupakan wilayah yang diakui sebagai kerajaan sendiri (landschap) dan menjadikan wilayah kerajaan Amfoan dipimpin sendiri oleh rajanya sendiri untuk mengatur urusan administrasi, hukum, adat dan budaya sendiri.

Meski demikian, dalam perjalanan pemerintahan kerajaan Amfoan setelahnya hingga benar – benar lepas dari kekuasaan Belanda, penentuan pimpinan kerajaan cenderung diintervensi dan harus mendapat legitimasi dari pemerintahan Belanda.

Kata sumber sama, jauh sebelum pemerintahan kerajaan Amfoan diintervensi hingga berujung pada ditandatanganinya korten verklading, (meskipun pada tahun 1756, akibat politik adu domba Belanda, kerajaan Amfoan diwakili oleh salah satu adik raja Amfoan saat itu -beberapa sumber menyebut namanya adalah Bertolomeus, sebagai raja Amfoan Naikliu- adik dari raja Amfoan Timau yang menetap di Soliu menandatangani Kontrak Paravacini sebagai pengakuan untuk sukarela tunduk kepada Belanda) perang terhadap Belanda tetap gencar dilakukan oleh kekuatan kerajaan Amfoan yang bergabung dengan kekuatan kerajaan Oenam dan beberapa kerajaan lain hingga benar – benar takluk pada tahun 1905 setelah raja Sobe Sonbai III yang menjadi kiblat kekuatan perjuangan saat itu ditangkap dan diasingkan ke Waingapu, Sumba Timur. Perang yang disebut perang Bipolo ini juga melibatkan kerajaan Amfoan sebab selain karena kepentingan yang sama untuk menolak penjajahan, juga karena hubungan kekerabatan antar raja dan masyarakatnya.

Kontrak Paravacini sendiri dilakukan setelah kekalahan besar pasukan rakyat dalam perang Penfui, perang terhadap bendera asing (Pen = bendera, fui = asing), pada tahun 1749 – 1753 terhadap Belanda di Kupang. Banyak rakyat pejuang saat itu yang ditawan, kemudian dijual ke Betawi sebagai budak. Bahkan, pada masa itu, para pembesar VOC (perusahaan dagang) sering berburu manusia di pedlaman Timor untuk ditangkapi dan diperjualbelikan sebagai budak. Perdagangan budak yang ditangkap dari rakyat baru berhenti tahun 1818 setelah ada larangan dari pemerintah Belanda sendiri.

Bertolomeus yang diakui sebagai raja Amfoan dalam kontrak Paravacini tersebut juga diragukan kebenarannya sebagai raja. Bisa jadi ini merupakan politik adu domba Belanda sebab dalam kontrak yang sama, ada nama Daniel Tafi sebagai raja kerajaan Paeneno’m Oenam (Dinasti Sonbai). Padahal, saat itu pemerintahan kerajaan Oenam sementara Vakum setelah raja Baob Sonbai dibawa Belanda dan diasingkan ke Betawi. Saat itu, memanfaatkan situasi politik internal kerajaan Amfoan yang mengarah pada perebutan kekuasaan, Belanda mendorong munculnya raja baru dari lingkar keluarga Manoh (diakui sebagai keturunan Am Foan)  sendiri sehingga seolah – olah ada dua kerajaan di Amfoan.

Dalam beberapa dokumen Belanda, ada kerajaan Amfoan Timau dan kerajaan Amfoan Sorbian pada pertengahan tahun 1700 an. Wilayah kerajaan Amfoan Sorbian hanya di sekitar Naikliu, kecamatan Amfoang Utara saat ini, sedangkan sisanya merupakan bagian wilayah Amfoan Timau. Amfoan sorbian kemungkinan berasal dari kata Sole bian yang artinya memisahkan/membawa sebagian sehingga salah diucapkan oleh lidah Belanda menjadi sorbian. Bisa jadi, saat itu salah satu keluarga raja mengajak pengikutnya lalu mengukuhkan dirinya sebagai raja dan Belanda juga sengaja mengakui keduanya sebagai raja sekaligus sebagai dua kerajaan agar situasi yang tidak kompak ini menguntungkan mereka.

Bekas kerajaan yang tidak terpisahkan dengan kerajaan lain di pulau Timor karena hubungan kekerabatan antar raja ini terletak di ujung timur Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kecamatan Amfoang Timur langsung berbatasan darat dengan distrik Ambenu, Republik Demokrat Timor Leste (RDTL). Ambenu juga merupakan salah satu wilayah eks swapraja, bekas kerajaan yang raja pertamanya adalah Am benu atau Benu Sila merupakan kakak kandung dari Am Foan.

Kakak mereka berdua adalah Sonbay Sila yang menjadi raja kerajaan Oenam yang kemudian karena politik adu domba Belanda, dipecah menjadi beberapa kerajaan kecil setelah raja Sobe Sonbai III ditangkap pada 1905 (Swapraja Fatuleu, Mollo, dan Miomafo) hingga akhirnya kekuasaan dinasti Sonbai berakhir dengan pusat kerajaan di Nimaf – Kauniki, Wilayah swapraja Fatuleu setelahnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *