Pertumbuhan Ekonomi Indonesia menjadi salah satu poin debat panas tiga kandidat wakil presiden pada Jumat (22/12/2023). Poin perdebatan itu terutama berfokus pada seberapa tinggi target pertumbuhan ekonomi ke depan jika mereka terpilih dan bagaimana hal itu diraih, termasuk dengan melanjutkan pembangunan yang ekstraktif.
Perdebatan itu seolah melupakan pengorbanan lingkungan di balik pertumbuhan ekonomi, selain ketimpangan sosial. Perdebatan juga mengabaikan jeritan masyarakat kecil yang ruang hidupnya tergusur oleh proyek-proyek strategis nasional, seperti di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Terbaru, pabrik pengolahan nikel milik China di Morowali, Sulawesi Tengah, meledak pada Sabtu (23/12/2023), menewaskan sedikitnya 18 orang dan puluhan orang masih dirawat di rumah sakit. Tragedi ini merupakan yang kesekian dari kecelakaan yang merenggut korban jiwa yang menambah kritik tentang praktik eksploitatif terhadap pekerja dan lingkungan di pusat hilirisasi nikel yang difasilitasi oleh Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Penambangan dan pengolahan bijih nikel telah mencemari perairan Halmahera, Maluku Utara. Padahal, lokasi itu merupakan tempat pemijahan hingga pembesaran ikan serta jalur migrasi tuna (Kompas, 7 November 2023) yang menghidupi masyarakat di kepulauan ini. Patut digugat, bagaimana kehidupan masyarakat di kawasan ini setelah tambang, sementara dampak kerusakan dan pencemarannya bisa bersifat jangka panjang.
Data juga menunjukkan, persentase penduduk miskin di sentra-sentra penghasil nikel di Sulawesi dan Maluku justru naik ketika angka kemiskinan turun di wilayah lain di Indonesia. Hilirisasi tambang yang gencar dijalankan selama tiga tahun terakhir belum cukup berhasil mengerek kesejahteraan warga setempat (Kompas, 21 Juli 2023). Ini memicu pertanyaan, siapa lebih diuntungkan.
Di balik pertumbuhan
Seperti banyak penemuan yang ada di sekitar kita saat ini, konsep produk domestik bruto (PDB), atau dalam beberapa kasus PDB per kapita, sebagai standar pertumbuhan ekonomi modern merupakan produk perang. Definisi PDB dikembangkan oleh ekonom John Maynard Keynes selama masa Depresi Besar-Perang Dunia Kedua.
Pada 1940, satu tahun setelah perang dengan Jerman, Keynes, yang bekerja di Departemen Keuangan Inggris, menerbitkan esai yang mengkritik tidak memadainya statistik ekonomi untuk memperkirakan kapasitas dalam mobilisasi dan konflik. Menurut dia, perkiraan pendapatan nasional harus merupakan penjumlahan dari konsumsi swasta, investasi, dan belanja pemerintah.
Krisis kini merupakan hal yang normal dalam sistem ekonomi global yang menghabiskan modal alam dan sosial, energi, dan waktu demi pertumbuhan ekonomi dengan segala cara.
Pertumbuhan ekonomi memang telah meningkatkan standar hidup di banyak negara. Hal ini sering membuat para pembuat kebijakan memperlakukan PDB sebagai unit menyeluruh yang menandakan pembangunan suatu negara yang menggabungkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, perekonomian modern telah melupakan fakta bahwa PDB hanya mengukur besarnya perekonomian suatu negara dan tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat. Kini, banyak kritik mengemuka, fokus hanya pada PDB dan keuntungan ekonomi untuk mengukur pembangunan mengabaikan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap masyarakat, seperti krisis iklim dan ketimpangan pendapatan.
Jalan baru
Situasi dunia saat ini seharusnya memberi kita banyak alasan untuk berhenti sejenak. Kita hampir kalah dalam perlombaan untuk mencegah terlampauinya titik kritis planet ini, yaitu momen ketika daya dukung Bumi bakal merosot drastis hingga tak bisa mendukung kehidupan. Kini, es laut Antarktika di musim panas menyusut ke tingkat terendah yang tercatat pada tahun 2023, tahun yang diperkirakan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat.
Selain dampak krisis iklim, kebanyakan orang di dunia, termasuk di Indonesia, telah merasakan bahwa kehidupan sosial dan ekonomi tidak membaik. Tingkat kecemasan, depresi, kelelahan, dan bunuh diri meningkat seiring ketidakstabilan ekonomi dan lonjakan harga pangan.
”Krisis kini merupakan hal yang normal dalam sistem ekonomi global yang menghabiskan modal alam dan sosial, energi, dan waktu demi pertumbuhan ekonomi dengan segala cara,” sebut Robert Costanza, profesor ekonomi ekologi di University College London, di Nature (20/12/2023).
Menurut Costanza, dunia kini bergerak mencari model pembangunan. Dia menyebut, pada pidato pembukaan Konferensi Beyond Growth di Parlemen Eropa baru-baru ini, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, pemerintah harus berhenti menyalahgunakan PDB sebagai tujuan dan bergerak cepat menuju kesejahteraan berkelanjutan dalam batas-batas planet ini.
PDB tidak pernah dirancang mengukur kesejahteraan masyarakat, tetapi hanya mengukur produksi dan konsumsi pasar. PDB tidak menjelaskan apa pun tentang distribusi pendapatan, pekerjaan yang tidak dibayar, atau kerusakan pada modal alam atau sosial. Penyalahgunaan PDB sebagai tujuan kebijakan mendorong masyarakat menuju masa depan tidak berkelanjutan, hanya menguntungkan sebagian kecil orang dan memiskinkan sebagian besar masyarakat.
Alih-alih mendasarkan pada PDB saja, kita perlu menggunakan indikator kesejahteraan lain, bahwa yang penting bukan hanya pendapatan, melainkan juga cara mendistribusikannya. Kerugian akibat degradasi lingkungan dan sosial harus dimasukkan, begitu juga dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesejahteraan yang tidak berhubungan dengan pendapatan, seperti hubungan sosial, tata kelola yang baik, kemampuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan jasa ekosistem yang disediakan oleh lingkungan alam.
Sudah cukup model pembangunan kita yang eksploitatif terhadap alam dan sosial. Tahun baru yang menjelang, juga pemilihan presiden dan legislatif pada 2024, seharusnya jadi momentum bagi kita untuk membangun ekonomi baru berdasarkan kemakmuran, keadilan, dan kecukupan yang berkelanjutan.