Bappeda TTS Gandeng ICRAF Gelar Lokalatih kajian Kerentanan Perubahan Iklim

SOE – Dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan terutama oleh orang-orang yang penghidupannya bergantung pada pertanian. Petani dan masyarakat di pedesaan termasuk dalam kelompok yang rentan. Mereka membutuhkan sistem penyangga serta kapasitas adaptasi supaya mampu mempertahankan sumber penghidupan jikalau terjadi fenomena cuaca luar biasa, yang kini semakin sering melanda akibat perubahan iklim.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), perubahan iklim terutama dirasakan dalam bentuk kekeringan akibat kemarau yang semakin panjang. Dampak itu terutama dirasakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yang kerap diberitakan mengalami kekeringan ekstrem. Kekeringan telah berdampak pada ketahanan pangan serta ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.

Kondisi tersebut menjadi dasar Bappeda Kabupaten TTS mengadakan lokakarya pelatihan (Lokalatih) tentang kajian kerentanan terhadap perubahan iklim serta langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampaknya. Lokalatih yang dilaksanakan pada Kamis, 23 November di Hotel Blessing, Soe ini bertujuan meningkatkan kapasitas pendugaan dan kajian kerentanan perubahan iklim dalam penyusunan perencanaan pertumbuhan ekonomi hijau.

Kepala Bappeda Kabupaten TTS, Johanis Benu, SE. M.Si berharap kegiatan lokalatih ini dapat meningkatkan kesadaran para petani di TTS tentang perubahan iklim. Melalui arahannya, yang disampaikan oleh Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda TTS, dia mengatakan kajian kerentanan dapat dimanfaatkan dalam pengembangan strategi dan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim serta menjadi masukan bagi perencanaan pertumbuhan ekonomi hijau.

Menurut Permen LHK No. 7 Tahun 2018, kajian kerentanan, risiko, dan dampak perubahan iklim diperlukan sebagai salah satu dasar penyusunan kebijakan pemerintah.

Perubahan iklim memang menjadi salah satu isu strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang mendukung Visi Indonesia Emas 2045. Sejalan dengan komitmen dalam Persetujuan Paris 2015 untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat celsius, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca serta peningkatan ketahanan masyarakat.

Dalam melaksanakan lokalatih kajian kerentanan perubahan iklim ini, Bappeda didukung oleh Proyek Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods in Indonesia (Land4Lives) yang dijalankan ICRAF dan Global Affair Canada. ICRAF telah melakukan kajian awal dengan mengidentifikasi berbagai jenis kerentanan yang memengaruhi mata pencaharian berbasis pertanian di tingkat provinsi beserta potensi untuk adaptasinya.

Koordinator Provinsi ICRAF di NTT Yeni Fredik Nomeni berharap kegiatan lokalatih ini dapat menghasilkan kesamaan persepsi dan pemahaman dengan berbagai pemangku kepentingan di Kabupaten TTS.

“Hal ini juga kita lakukan sebagai upaya untuk menyusun strategi dan langkah-langkah bersama [dalam] merespons perubahan iklim yang telah kita hadapi bersama,” kata Yeni.

Kajian yang dilaksanakan bersama Bappelitbangda juga diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat sehingga lebih berdaya dalam menghadapi perubahan iklim serta berbagai akibatnya, imbuhnya.

Yeni menjelaskan, kerentanan masyarakat pedesaan diperparah oleh degradasi lingkungan yang terus berlanjut di Indonesia; saat ini sekitar 50-60 juta warga Indonesia bergantung pada ekosistem alami untuk mata pencaharian dan ketahanan pangan mereka.

“Perubahan iklim juga diproyeksikan memengaruhi produktivitas pertanian, yang akan berdampak serius pada para petani kecil yang bergantung pada tanaman subsisten dan komersial,” ujarnya.

Secara keseluruhan, tujuan proyek Land4Lives adalah memperkuat kapasitas komunitas rentan, termasuk didalamnya perempuan dan anak-anak perempuan, untuk melakukan upaya mitigasi, meningkatkan ketahanan, sekaligus beradaptasi dengan dampak buruk dari perubahan iklim, melalui partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan lingkungan dan komunitas.

Melalui implementasi Land4Lives, diharapkan akan tercipta peningkatan kualitas penghidupan, ketahanan pangan, mata pencaharian dan ekonomi lokal yang tahan perubahan iklim, terutama bagi kelompok rentan, termasuk di dalamnya perempuan dan anak perempuan di Indonesia.

(Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *