Menerapkan Merdeka Belajar, Menyemai Bibit Rindu di Ruang Kelas

Oleh: Simon Seffi

Sejak mengajar di SMAN 2 Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, NTT dari tahun 2015, saya selalu berhadapan dengan murid yang terlihat bosan dan enggan mengikuti pembelajaran matematika. Siswa yang tak punya gairah untuk belajar, siswa yang malas mengerjakan tugas meski berulangkali dicemooh, juga siswa yang terlihat tak senang ketika saya muncul untuk mengajar adalah gambaran diri mereka dalam penilaian saya. Diperparah dengan kondisi kemampuan matematika dasar mereka yang relatif sangat buruk sesuai penilaian saya, saya jadi tak ingin membuat pusing kepala untuk membuat mereka harus sepenuhnya memahami sejumlah materi matematika SMA sesuai arahan kurikulum. Akhirnya, saya yang sepenuhnya menguasai arena dalam setiap kegiatan pembelajaran. Hanya submateri tertentu yang menurut saya bisa dipahami dengan mudah yang saya ajarkan. Siswa sepenuhnya mengikuti skenario yang sudah saya atur. Kelas jadi kaku, kelas jadi membosankan. Bahkan saya juga merasa seperti berbeban berat dalam setiap kelas pembelajaran. Waktu seolah merayap seperti siput ketika saya ingin agar jam pembelajaran secepatnya berakhir.

Begitu berkenalan dengan filosofi merdeka belajar, saya tahu bahwa saya yang harus berubah. Sadar setiap siswa unik dengan perbedaan kebutuhan belajar yang mesti dipahami dan diakomodir, terhadap mereka, tak ada lagi cemooh, tak ada lagi kekerasan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, mulai ada diskusi bersama mereka. Suara mereka didengar, aspirasi mereka mendapatkan tempat. Pilihan mereka juga diperhitungkan.

Misalnya, pada semester ganjil tahun ini (2023), saat mempelajari materi statistika bersama siswa kelas XII MIA, kami berdiskusi dan sepakat agar para siswa secara berkelompok melakukan penelitian di lingkungan masyarakat sekitar sekolah. Sesuai hasil diskusi bersama mereka, penelitian yang dilakukan diarahkan untuk memperoleh informasi mengenai perbandingan belanja non gizi dan belanja kebutuhan gizi dalam keluarga yang memiliki anak penderita stunting, pengeluaran untuk kebutuhan pagar tiap keluarga dalam setahun, pemasukan bagi keluarga dari kiriman pekerja migran, serta jumlah ternak ayam yang mati dalam setahun. Data hasil penelitian diolah sesuai kaidah statistika, ditampilkan, dan diinterpretasi. Saya hanya membantu saat berkomunikasi dengan pihak puskesmas untuk mendapatkan data anak stunting. Instrumen penelitian juga mereka kembangkan sebelum dikonsultasikan dengan saya.

Ketika setiap kelompok diberi kesempatan untuk presentasi dan menceritakan pengalaman yang dihadapi dalam kegiatan penelitian, bahkan yang biasanya pasif juga terlihat memiliki semangat untuk menceritakan sejumlah kisah yang mereka alami. Mereka begitu bersemangat, dan mereka begitu senang untuk berbicara. Termasuk yang bahasanya belum terstruktur dan belepotan, juga memiliki keberanian untuk bersuara.

Kini, hampir semua dari mereka jadi berani berbicara di depan, terlihat lebih percaya diri, terbiasa untuk bekerja sama, memiliki sikap saling menghargai. Meski kemampuan matematika mereka masih belum sesuai yang seharusnya bagi siswa SMA, ternyata ada hal lain yang, tentu saja lebih penting dari sekedar capaian nilai pengetahuan matematika, jadi berkembang dengan baik: Aspek sikap dan karakter.

Kini, raut enggan dan bosan seperti hampir tak terlihat ketika saya muncul di kelas pembelajaran. Saya menyadari, anak-anak punya gairah untuk terlibat dalam pembelajaran karena sudah ada jaminan rasa aman dan nyaman bagi mereka, karena suara dan pilihan mereka juga diperhitungkan. Saya menyadari, lebih hormat dan santun pada siswa akan membuat mereka jadi nyaman dan bahagia dalam kelas. Dan, ternyata saya juga merasa nyaman, saya juga merasa bahagia.

Pada akhirnya, ketika saya sementara merangkai tulisan singkat ini saat mengikuti kegiatan refleksi peran guru penggerak di Jakarta dan ada salah satu siswa yang dulu sering saya marahi mengirimkan pesan whatsapp untuk berdiskusi tentang tugasnya, mata saya berkaca karena ternyata, kerinduan saya untuk memiliki siswa yang aktif sudah tidak lagi seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan. Mulai ada harapan. Saya yakin, sama seperti anak-anak, meski bisa jadi belum semua dari mereka, ternyata punya kerinduan untuk bertemu dan berdiskusi. Menerapkan merdeka belajar ternyata telah menumbuhkan bibit rindu untuk selalu bertemu di ruang kelas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *