Korupsi Pertamina, Ahok dan Hotman Paris Bertengkar

Oleh: Erizal

Jadi, yang membongkar kasus mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang di PT Pertamina Patra Niaga dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai 193,7 triliun rupiah pertahun itu, Kejaksaan Agung dan bukan Ahok. Sekali lagi, Kejaksaan Agung dan bukan Ahok.

Tapi anehnya kok Ahok pula yang seperti mendapat nama dan menjadi seolah-olah pahlawan? Pahlawan kesiangan dari kegelapan Indonesia, kata demi mahasiswa kemarin. Ahok dengan nada tinggi dan gaya marah-marahnya, ikut pula menghajar para tersangka yang awalnya berjumlah 7 orang, lalu bertambah menjadi 9 orang, dan bukan mustahil masih akan terus bertambah lagi.

Seolah-olah Ahok pula yang sudah berjasa besar membongkar kasus mega korupsi ini. Dia ingin sekali dipanggil Kejagung, lalu membongkar kasus mega korupsi di Pertamina itu. Kalau ingin membongkar kenapa harus menunggu dipanggil Kejagung dulu? Padahal, mestinya dia termasuk orang yang harus bertanggung jawab atas kasus mega korupsi ini.

“Apa saya bilang, orang-orang ini tak pernah mau mendengarkan apa yang saya katakan dulu. Mereka tak takut kepada saya, karena saya tak bisa memecat mereka.” Begitulah kira-kira keluhan Ahok. Kata kemudian adalah kata yang bercari-cari, begitulah kata sebuah pepatah.

Ahok merasa heran, kenapa mereka ini bisa dipertahankan menjabat di Pertamina? Kali ini Ahok seperti mencoba mengarahkan panahnya ke petinggi yang berada di atasnya. Entah siapa pula yang sedang disasar Ahok? Menterikah atau Presiden pada masa itu? Entahlah.

Padahal orang juga bisa balik bertanya, kenapa Ahok bisa menjadi Komisaris Utama di Pertamina, kalau bukan karena jaringan kekuasaan ketika itu pula? Sama saja, sebetulnya. Tapi Ahok merasa perlu menunjukkan apa yang sudah dia perbuat, setelah kasus mega korupsi di Pertamina itu dibongkar Kejagung.

Wajar saja, orang seperti Hotman Paris Hutapea, sebagai orang yang mengerti hukum dan posisi seseorang dalam satu perusahaan, tabik suga melihat kelakuan Ahok yang marah-marah, setelah Kejagung membongkar kasus mega korupsi di Pertamina ini. Kenapa dia pula yang merasa benar dan di atas angin?

Bagi Hotman Paris mestinya Ahok meminta maaf kepada publik atas kasus ini, tahu atau tidak tahunya dia dengan kasus ini. Lebih hebat lagi kalau dia mau mengembalikan semua gaji miliaran rupiah yang pernah diterimanya sebagai Komisaris Utama di Pertamina sejak November 2019 sampai Februari 2024. Masa-masa, di mana mega korupsi itu justru sedang mengganas, yakni periode 2018-2023.

Tak ada gunanya respon marah-marah Ahok yang ditunjukkan ini, seolah-olah dia pula yang sudah berjasa membongkar kasus mega korupsi ini. Kecengkelan Hotman Paris sangat beralasan. Orang hebat dan bersih tak pula seperti itu, kecuali sekadar sok belaka.

Berbeda dengan Ahok, Sudirman Said, yang juga pernah di Pertamina dan Menteri ESDM di Era Presiden Jokowi terlihat lebih tenang dan rendah hati. Ia tak seperti Ahok yang sok-sok bersih dan mau seolah-olah membongkar pula mega korupsi di Pertamina ini seperti apa yang sedang dibongkar Kejagung.

Sudirman Said lebih dulu dibanding Ahok dan tak selama Ahok pula di Pertamina. Di Pertamina, Sudirman Said hanya sebagai staf ahli tahun 2008-2009. Dan sebagai Menteri ESDM, menjabat kurang dari 2 tahun (2014-2016). Ia turut menggasak apa yang diistilahkan mafia Migas kala itu. Kerjanya belum selesai kala itu, “katanya.

Makanya tak terlalu mengherankan, kalau saat ini terjadi lagi dengan gaya baru dan lebih brutal. Dilakukan oleh anak-anak muda terpelajar pula. Ini yang membuatnya tak habis pikir dan sulit menganalisis lebih dalam, apalagi harus marah-marah seperti gaya Ahok itu.

Tapi baik Ahok maupun Sudirman Said seperti punya satu kesamaan, yakni panahnya diarahkan kepada Presiden Jokowi, sebagai Presiden ketika itu, meskipun tak disebutkan secara terang-benderang. Aroma Pilpres masih belum sirna. Baik 01 yang 24% maupun 03 yang 16% masih sama kalau soal Jokowi.

Apa pun yang buruk di masa lalu itu adalah karena Jokowi, dan apa pun yang baik di masa lalu, tak pernah diakui sebagai peran Jokowi. Kendatipun mereka ini, baik Sudirman Said maupun lebih-lebih Ahok, menikmati manisnya kekuasaan adalah karena Jokowi.

Mahfud MD berpikir bahwa Kejagung berani mengusut kasus ini karena sinyal yang kuat dari Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi. Tapi anehnya Prabowo pun masih dianggap di bawah bayang-bayang Jokowi hanya karena Prabowo menghormati Jokowi sebagai pendahulunya.

Memang banyak yang aneh akhir-akhir dari para lawan politik melihat situasi yang berlangsung saat ini. Orang yang dikritik terus bergerak maju sambil terus berbenah diri, sementara mereka yang mengkritik hanya duduk di tempatnya saja dan berpikir sebagaimana dulunya dan seperti tak kunjung mau berubah.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *