Mencegah Politik Dinasti

Oleh: Umar Sholahudin

TREN politik kekerabatan atau dinasti menjadi gejala neopatrimonialistik dalam masyarakat politik modern. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial (yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit sistem) dalam menimbang prestasi.

Politisi memanfaatkan kultur neopatrimonial ini sebagai strategi politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan melalui jalur politik prosedural (baca: demokrasi). Anak, keluarga, atau kerabat para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik.

Politik Dinasti Jokowi

Salah satu praktik politik dinasti yang saat ini jadi sorotan publik adalah kemunculan Gibran Rakabuming Raka di kontestasi Pilpres 2024. Kemunculan Gibran loncat tangga politik ini tak lepas dari kontribusi pamannya, Anwar Usman, yang ketua Mahkamah Konstitusi dan ayahnya, Joko Widodo, yang presiden RI.

Hal lain yang disorot publik adalah naik tangga politiknya melalui cara-cara nir-etika dan demokrasi. Gibran adalah kader dan dibesarkan PDI Perjuangan serta naik tangga politik menjadi wali kota Surakarta. Belum rampung di Surakarta, ditarik secara sepihak oleh Partai Golkar, disulap jadi kader Golkar, dan dikarbit menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Politik dinasti dan loncat pagar politik juga dialami menantu Jokowi, Bobby Nasution yang menjadi wali kota Medan. Dan Kaesang Pangarep, yang disulap dan dikarbit menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia.

Praktik politik telanjang ini mendapat banyak respons negatif dari publik, akademisi, dan aktivis politik. Bahkan, sudah melaporkan ketua MK Anwar Usman ke Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang saat ini sedang diproses.

Penyubur Politik Dinasti

Maraknya politik dinasti, termasuk dinasti politik Jokowi, tak lepas dari; Pertama, tidak ada regulasi yang mengatur/membatasi orang untuk maju dalam kontestasi politik. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah petahana. Alasannya, pasal seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Putusan MK ini menjadi angin segar bagi tumbuh suburnya pelembagaan politik dinasti.

Kedua, sistem kelembagaan internal parpol masih sangat lemah, yang ditandai dengan macetnya kaderisasi. Parpol lebih mengandalkan ikatan genealogis daripada merit sistem (prestasi; kecerdasan dan usaha). Ketiga, di tengah macetnya kaderisasi, muncullah tindakan politik pragmatis dan instan, yakni mencari calon yang punya ikatan kekerabatan dengan pejabat yang memiliki peluang menang. Keempat, kuatnya oligarki politik di internal parpol. Pencalonan kandidat oleh partai politik lebih cenderung didasarkan atas keinginan elite partai, bukan berdasar rasionalitas dengan mempertimbangkan kapasitas, rekam jejak, dan integritas calon. Kelima, masih lemahnya literasi dan pendidikan politik pemilih tentang dampak buruk dari praktik politik dinasti.

Dampak Buruk

Agar pemilih tidak tertipu, tidak emosional, dan tetap bersikap rasional dan objektif, perlu ditunjukkan data dan fakta tentang dampak buruk dari praktik politik dinasti. Pertama, politik dinasti tentu saja akan menghambat dan bahkan merusak sistem kaderisasi di internal parpol. Rekrutmen kader lebih didasarkan pada popularitas dan politik kekerabatan untuk meraih kemenangan. Muncullah calon instan dari selebriti, pengusaha,’’darah biru” atau politik dinasti, tanpa melalui kaderisasi.

Kedua, politik dinasti akan melahirkan oligarki politik. Karena dalam sistem yang ’’eksklusif” tersebut, hanya orang-orang ’’eksklusif” yang memiliki akses dan meraih estafet kekuasaan.

Ketiga, secara faktual, politik dinasti lebih dekat dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan sarat dengan praktik korupsi. Data KPK menunjukkan, daerah-daerah yang ada politik dinastinya sebagian besar berujung pada praktik korupsi. Pelajaran yang paling nyata adalah politik dinasti di Provinsi Banten. Ayah, anak, menantu, keponakan, dan kerabat mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah memegang berbagai lini kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif.

Pendidikan Pemilih

Saat ini, kita mungkin tidak dapat melarang munculnya praktik politik dinasti dalam demokrasi elektoral (pemilu atau pilkada), akan tetapi setidaknya dapat dicegah dan dihambat melalui; Pertama, dari sisi negara, dibutuhkan pemikiran yang komprehensif dan regulasi yang kuat. Setidaknya membatasi agar politik dinasti tidak merajalela dan merusak tatanan demokrasi.

Kedua, dari sisi parpol, kita dorong parpol agar menerapkan sistem atau model kandidasi bertahap dan bertingkat; tumbuh kembangkan sistem meritokrasi di internal partai yang sehat; sistem seleksi yang terbuka dan transparan; kapasitas, integritas, dan rekam jejak harus menjadi pertimbangan utama calon daripada kedekatan politik kekerabatan.

Ketiga, dari sisi pemilih, perlu digencarkan pendidikan pemilih yang lebih rasional dan mencerahkan. Edukasi publik yang kuat untuk membangun budaya literasi politik yang kritis. Pilihlah pemimpin karena visi, misi, dan program kerja yang berkualitas serta rekam jejak, bukan karena faktor dinasti politik.

Masih ada waktu cukup panjang bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. Mencoblos di bilik suara memang lima menit. Tapi, berdampak serius terhadap nasib pemilih, masyarakat, dan bangsa atau daerahnya setidaknya lima tahun ke depan. Dengan begitu, kita bukan lagi memilih yang terbaik di antara yang terjelek. Tapi, memilih untuk mencegah dan menghambat politik dinasti(*)


*) UMAR SHOLAHUDIN, Dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *