Politisasi Isu Kaum Muda

Oleh: PANDU IRAWAN RIYANTO

SELAIN isu konflik kepentingan Gibran Rakabuming Raka di putusan Mahkamah Konstitusi (MK), isu lain yang dilekatkan dengan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu terkait kaum muda. Dengan usianya yang terhitung masih muda, 36 tahun, Gibran diisukan menjadi representasi kaum muda pada Pemilu 2024. Oleh beberapa pengusungnya di koalisi Prabowo Subianto, dia di-framing mampu berbuat banyak untuk kepentingan kaum muda.

Bahkan, putusan MK atas permohonan perkara bernomor 90/PUU-XXI/2023 itu di-framing dapat mendorong partisipasi anak muda berkompetisi di dunia politik tanpa harus terganjal batas usia. Itu dibuktikan dengan naiknya Gibran menjadi cawapres Prabowo yang telah daftar ke KPU pada 25 Oktober lalu. Argumen tersebut bias kelas.

Sudah rahasia umum, biaya politik transaksional di Indonesia sangat besar (Aspinall, 2019). Mereka yang punya kapital ekonomi yang kuatlah yang bisa masuk dan bersaing dalam kontestasi elektoral. Selain kapital ekonomi, privilese tertentu secara simbolis juga dapat menghubungkan individu dengan kekuasaan atau basis massa tertentu. Modal ekonomi dan simbolis (Bourdieu, 1984) sangat menentukan. Sehingga rasanya sulit untuk ikut berkompetisi dalam kontestasi politik bagi anak muda saat ini apabila tidak memiliki modal ekonomi dan simbolis itu. Sistem yang ada juga sejauh ini melegitimasi itu.

Realitas tersebut hendak dikaburkan dengan mengusung Gibran yang notabene merupakan anak presiden yang sedang menjabat. Seolah-olah semua anak muda memiliki kesempatan yang sama seperti dirinya yang terhitung baru dalam kancah politik dan langsung bisa naik menjadi cawapres. Argumen itu sangat reduksionis dan bias kelas. Posisi Gibran hari ini tentu tidak sebanding dengan anak muda yang tidak punya posisi tawar secara politik karena tidak memiliki kapital dan privilese sepertinya.

Identitasnya sebagai ”anak muda” ini juga akan sangat beririsan dengan fakta bahwa pada Pemilu 2024 jumlah pemilih muda mencapai 52 persen menurut data KPU. Identitas yang melekat pada diri Gibran secara biologis ini sudah pasti akan dipolitisasi secara maksimal oleh kubu pengusungnya untuk mengeruk suara dari pemilih muda. Salah satu strategi yang dilakukan adalah melakukan branding masif pada sosok Gibran. Terbukti, pada saat deklarasi Golkar terhadap Gibran sebagai cawapres Prabowo yang dibacakan Airlangga Hartarto, dia bahkan membandingkan Gibran dengan sosok Sutan Syahrir yang menjadi perdana menteri pertama Indonesia di usia 36 tahun.

Strategi komparasi menggunakan tokoh-tokoh masa lalu yang sama secara usia tentu tidak dapat dijadikan legitimasi bahwa Gibran akan memiliki semangat juang seperti mereka. Sebab, latar belakang, kondisi sosial politik, dan perjalanan politik saat itu dan saat ini jauh berbeda.

Kemudian, mekanisme Gibran masuk dalam gelanggang pertarungan pilpres juga mencederai nilai-nilai anak muda. Anak muda identik dengan semangat berjuang di jalan kebenaran, teguh pada prinsip, dan memegang erat idealisme. Yang terakhir berhubungan dengan kata-kata dari salah satu tokoh bangsa, Tan Malaka, yang mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Artinya, idealisme merupakan privilese yang dimiliki anak muda dan menjadi pembeda dengan golongan lainnya.

Namun, ini berbanding terbalik dengan realitas politik yang menghadirkan sosok anak muda bernama Gibran yang ikut berkontestasi dengan cara mengoyak-ngoyak aturan hukum. Semestinya kondisi ini tidak terjadi. Apabila Gibran benar-benar berkehendak kuat untuk berkuasa, semestinya dia mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan jauh-jauh hari. Bukan memaksakan diri dengan memanfaatkan jaringan keluarga untuk menginstrumentalisasi hukum demi kepentingan pribadinya. Jelas ini mencederai semangat idealisme yang diidentikkan pada kaum muda.

Terlalu dini untuk menilai bahwa Gibran adalah representasi anak muda dan akan membawa isu anak muda menjadi perhatian utama, apalagi mengeruk suara milenial. Pemilih muda saat ini juga cukup kritis dalam menilai dan memilah setiap paslon sehingga tidak mudah tergiring pada isu-isu populer.

Ketersediaan perangkat digital saat ini dapat memudahkan para pemilih muda untuk lebih komprehensif dan holistis dalam melihat karakter, track record, sampai pada jaringan sosial seperti keluarga atau kerabat dari setiap calon, termasuk Gibran, untuk menentukan pilihan politiknya. Ini sekaligus kalimat ajakan untuk melihat masing-masing calon tidak secara parsial dan take for granted dari satu media saja.

Politik representasi ini juga penting untuk menghindari politisasi isu kaum muda. Sebab, representasi yang ada juga belum tentu mempresentasikan kondisi riilnya. Artinya, mereka yang mendaulat diri sebagai perwakilan anak muda belum tentu benar-benar mampu peka terhadap isu kaum muda dan mewakili kepentingan kaum muda di ranah politik. Cara berpikir oposisi biner harus dihindari.

Jangan hanya karena muda, maka secara otomatis dia idealis dan peka terhadap kondisi kaum muda. Pun melihat calon-calon lain, karena secara usia mereka masuk kategori tua, mereka tidak akan peka terhadap isu anak muda. Paradigma bineritas ini harus didekonstruksi.

Yang terpenting adalah sejauh mana mereka para calon pemimpin ini mampu meresapi dan mengejawantahkan spirit serta nilai-nilai kaum muda seperti menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Muda bukan hanya soal usia, tetapi pada nilai-nilai. Metode berpikir demikian dilakukan untuk menghindari politisasi kaum muda pada Pilpres 2024 mendatang. (*)


*) PANDU IRAWAN RIYANTO, Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *