Mengungkap Sebab Kelangkaan Gas di Telaga Warna Blok D Kota Malang

Oleh: Bonifasia Kristy Utami Juita

Beberapa bulan terakhir, warga di Kelurahan Tlogo Mas, Kec. Lowokwaru,Kota Malang, lebih tepatnya di daerah Telaga Warna, Blok D merasakan dampak langsung dari kelangkaan tabung gas elpiji 3 Kg. kelangkaan tabung gas elpiji 3 kg menjadi masalah yang sangat serius di tengah kehidupan warga, terutama bagi mereka yang tergolong miskin, Sabtu (09/11/2024).

Kelangkaan gas 3 kg yang terjadi belakangan ini bukan hanya masalah pasokan, tetapi juga membebani banyak ibu rumah tangga dan warga kecil. Gas yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin kini semakin sulit didapatkan, dengan harga yang terus merangkak naik dan pengiriman yang semakin terbatas. Di balik krisis ini, warga mengungkapkan cerita-cerita tentang bagaimana mereka berjuang menghadapi kelangkaan dan mahalnya harga gas yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok.

Gas 3 kg yang seharusnya diperuntukkan bagi warga miskin, kini justru sulit didapatkan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ibu rumah tangga sekaligus pengusaha yaitu Ibu Lidia, kelangkaan gas ini bukan hanya disebabkan oleh faktor produksi, tetapi juga oleh pengurangan pasokan dari pemerintah. Hal ini tentu saja berimbas pada harga gas yang semakin melonjak.

“Kelangkaan itu dikarenakan pengurangan dari pemerintah. Karenakan tidak sesuai dengan tujuannya, maksudnya tabung gas 3 kg itu untuk warga miskin sesuai dengan tulisan yang ditabung, karena perusahaan kayak orang usaha, mereka menyalahgunakan dengan menyetok banyak dengan harga yang murah tanpa subsidi dari pemerintah. Kelangkaan gas ini juga berpengaruh terhadap kenaikan harga gas,” jelas Ibu Lidia

Selain kelangkaan, kenaikan harga gas juga menjadi keluhan utama. Harga gas saat ini sudah sangat mahal, jauh di atas harga normal. Hal ini tentu saja sangat memberatkan masyarakat, terutama bagi keluarga dengan penghasilan rendah. Karena hal ini juga banyak bisnis di warteg kecil, seperti penyediaan menu makanan menjadi lebih sedikit dan tidak seperti biasanya, dan masalah lain terkait.

Harga gas yang terus meningkat menyebabkan warga, terutama ibu rumah tangga, semakin kesulitan. Sebagai contoh, untuk mendapatkan pasokan gas mereka harus kasih CV ke pengepul, agar pengiriman gas tetap sampai ke mereka. Hal ini menciptakan kesulitan baru, karena selain harus menanggung harga gas yang lebih tinggi, mereka juga harus mengeluarkan uang lebih untuk memastikan gas bisa tiba tepat waktu.

“Iya, karena untuk ibu bisa mendapatkan gas kita ngasih uang tambahan atau fee, kepada pihak CV. Agar mereka mau kirim ke kita. Mereka kan punya pengepul, pengepul itu punya target ,ini biasanya diberi 20 dan harus di kurangi dan untuk kita mendapatkan itu kita harus ngasi pak di aku harus harganya di naikin dan kita juga jualnya tentu harus naik,” ungkapnya.

Menghadapi kelangkaan dan harga gas yang tinggi, warga pun harus pintar-pintar mengatur pengeluaran. Ibu Lidia bercerita bahwa kini dia lebih selektif dalam memilih menu masakan, dan hanya memasak yang benar-benar di butuhkan untuk mengurangi pemborosan gas, ia harus lebih hemat dalam memasak, dengan mengurangi masak yang berlebihan adalah salah satu cara untuk bertahan di tengah ketidakpastian pasokan gas.

“Iya kita harus bisa lebih hemat, kalau masak juga harus yang penting-penting saja dan kalau ibu dulu itu suka masak, bikin kue, bikin cemilan, dengan masak seperti ini akan boros. Jadi untuk mengurangi keborosan itu ya kita harus mengurangi masak yang berlebihan. Dan kita juga harus bisa mengatur menu masakan kita, supaya bisa menghemat pemakaian gas elpiji takutnya besok gak ada lagi,” tuturnya.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan, untuk mengurangi terjadinya kelangkaan gas elpiji ini dengan mengatur pola konsumsi gas secara lebih efisien. Misalnya, mereka bisa memilih menu masakan yang tidak memerlukan waktu lama untuk memasak, serta menghindari memasak dalam jumlah besar yang dapat memboroskan gas. Serta masyarakat juga harus bisa terbiasa memasak dengan menggunakan kompor induksi atau kompor gas, karena ha ini dapat membantu mengurangi ketergantungan pada gas.

Selain masalah harga yang terus naik, ketidakpastian dalam pengiriman gas juga menjadi beban berat bagi warga. Seperti yang diungkapkan oleh ibu Lidia, sebelumnya pengiriman gas dilakukan dua kali dalam seminggu dengan jumlah yang memadai. Namun kini, pengiriman gas hanya dilakukan sekali dalam seminggu dengan jumlah yang jauh lebih sedikit.

“Sebelum adanya kelangkaan, biasanya seminggu itu 2 kali antar, cuman sekarang karena adanya kelangkaan ini seminggu hanya 1 kali dengan jumlah yang berkurang, dan kita sebagai warga ya terima saja, dengan keadaan yang ada kita mau proses kemana keatasan juga mereka gak begitu respon banget maksudnya mereka gak terlalu menanggapi dengan mereka mau tampil, mau ngasi arahan, cuman mereka yang sebagai pengirim kenapa langkah mereka menjawab ya sudah kita nurut saja karena memang itu prosedurnya kan lebih sulit sekarang,” ungkapnya

Meskipun kelangkaan gas ini sangat di rasakan, warga mengaku sangat sulit untuk mendapatkan perhatian dari pihak terkait. Namun, menurutnya, meskipun mereka terus bertanya, tidak ada penjelasan yang memadai dari pengirim atau pihak yang berwenang.

“Kalau selama ini istilahnya itu merekanya hanya protes kepada penjualnya aja, buk ko gasnya gak ada ya?, ini kenapa ya gasnya kapan datang ya? Saya kan gak tau ya dan kami sebagai warga hanya bisa terima saja. Mau protes ke atas juga tidak ada yang mendengarkan,” jelasnya.

Kelangkaan gas juga berimbas pada berkurangnya kuota pengiriman. Sebelum terjadinya kelangkaan gas ini, pengiriman gas dalam seminggu bisa mencapai 80 tabung gas, namun sejak kelangkaan terjadi, pengirim hanya dilakukan sebanyak 40 tabung gas perminggu, dan jumlah ini sering kali berkurang lagi karena keterbatasan pasokan.

“Biasanya kirim banyak, dan selama terjadinya kelangkaan ini hanya kirim separuh. Dan biasanya pengiriman satu minggu 80 sebelum terjadinya kelangkaan, dan selama terjadinya kelangkaan selama satu minggu kirim hanya 40 pasti turun karena sudah di kurangi sama yang berpihak,” lanjutnya.

Meski banyak keluhan yang disampaikan kepada penjual gas, warga merasa tidak memiliki banyak pilihan untuk menyampaikan protes kepada pihak berwenang. Mereka merasakan ketidakpastian dalam pengiriman dan kurangnya respons dari pengirim gas. Proses yang semakin rumit, seperti persyaratan KTP dan KK untuk mendapatkan gas, hanya menambah beban bagi mereka yang membutuhkan.

Kelangkaan penjualan gas elpiji ini menimbulkan keresahan bagi warga setempat, banyak warga yang mengeluh jarang masak karena untuk menghemat gas, dan melihat persediaan gas di warung kecil yang sudah kosong, dan terkadang warga juga rela mengantri demi mendapatkan gas elpiji tersebut.

Penjual gas itu juga menegaskan semoga proses persediaan gas ini dilancarkan.

“Harapannya kalau ibu sebagai warga biasa aja, kita mau protes kayak gimana kita cuman rakyat kecil. Dan mau berprotes kepada pihak yang terkait juga tidak punya biaya, jadi kita tunggu aja dan semoga pemerintah setempat juga bisa menyediakan lebih banyak stok gas elpiji ke wilaya-wilaya kita yang mengalami kelangkaan gas,”tutupnya.

 

Bonifasia Kristy Utami Juita (Penulis). Adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *