Pemilu 2024 masih menyisakan empat bulan lagi. Seiring perjalanan waktu hingga hari pemungutan suara, suhu politik pasti terus meningkat. Dinamika politik bukan saja disebabkan tarik-menarik dukungan kelompok elite pada pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Ironisnya, dinamika politik jelang pemilihan presiden (pilpres) juga membelah pandangan dan sikap politik ulama. Kini, ulama terpolarisasi dalam berbagai kelompok kepentingan dukung-mendukung capres–cawapres.
Sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, mereka yang berstatus tokoh agama seperti kiai dan gus, ternyata banyak yang tergoda untuk turun gelanggang. Secara vulgar mereka memberikan dukungan pada pasangan capres dan cawapres tertentu. Sebagian tokoh agama yang berhimpun dalam berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) juga tidak bisa menahan diri. Mereka terlibat jauh dalam kontestasi pilpres. Kalangan intelektual kampus pun setali tiga uang.
Seperti diketahui, saat ini pasangan capres dan cawapres yang resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum adalah Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming Raka. Jika tidak ada perubahan, tiga pasangan ini akan berlaga dalam pemilu pada 14 Februari 2024. Mereka ini didampingi sekelompok tim sukses, yang sebagian berlatar belakang ulama. Sebagian lagi akademisi kampus yang rajin melakukan survei. Mereka layaknya konsultan politik capres–cawapres.
Dalam proses politik jelang pilpres itulah publik melihat sebagian ulama–kiai terlibat langsung politik praktis. Dampaknya, para ulama–kiai terbelah karena perbedaan sikap politik dan dukungan pada kandidat. Pada konteks ini, publik tidak perlu heran karena dunia politik memang selalu akrab dengan perbedaan, bahkan perpecahan. Sebagian aktivis partai bahkan mengatakan perbedaan politik itu biasa. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan. Juga dikatakan bahwa di dunia politik itu tidak ada teman atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.
Semua pihak semestinya melihat politik sebagai bagian dari persoalan duniawi semata. Karena itulah, tidak boleh saling memutlakkan pendapat dengan menganggap pilihan politiknya yang paling benar. Sementara pilihan politik orang lain dianggap salah.
Apalagi jika dalam menyampaikan pandangan dan sikap politik itu seseorang membawa simbol-simbol keagamaan. Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam politik dapat menodai kesakralan ajaran agama, juga memicu fenomena politik identitas.
Peringatan ini penting direnungkan karena dinamika politik jelang pilpres telah menjadikan ulama–kiai terbelah. Apalagi sebagian ulama–kiai memiliki posisi sentral dalam ormas. Sebagian mereka juga kiai sekaligus pimpinan pondok pesantren.
Dalam posisi ini, mereka sangat berpotensi untuk memengaruhi pilihan politik umat. Para kandidat capres dan cawapres pun tahu persis cara memanfaatkan mereka sebagai pendulang suara (vote getter).
Terbelahnya sikap ulama–kiai karena faktor politik, apalagi disertai tindakan memobilisasi umat, tentu sangat disayangkan. Sebab, sifat ini jauh dari karakter ulama. Dalam pengertian yang baku, ulama merupakan kelompok orang yang ahli agama.
Pengertian ini merujuk pada kalam Ilahi dalam Alquran (QS. 26: 197 dan QS. 35: 28). Dalam hadis Nabi Muhammad juga ditegaskan posisi istimewa ulama sebagai pewaris Nabi. Dalam makna yang lebih luas, ulama juga mencakup cendekiawan (ulul albab).
Dengan demikian, ulama sejatinya bukan hanya kelompok ahli agama, melainkan juga ahli ilmu pengetahuan pada umumnya. Berarti kelompok cendekiawan yang mengawal lembaga-lembaga survei adalah ulama.
Jika tidak cermat, publik juga dapat mengalami sesat pikir dan dibuat bingung. Sebab, sebagian lembaga survei masuk dalam kelompok berkepentingan. Bahkan, ada lembaga survei dadakan yang dibentuk para kandidat jelang pilpres. Dampaknya, nilai-nilai kejujuran yang menjadi spirit dalam dunia keilmuan akan tergerus.
Demikian halnya dengan sebagian ulama–kiai yang terlalu jauh bermain dalam politik praktis dengan mendukung salah satu kandidat. Apalagi jika dukungan itu tidak gratis-tis. Artinya, mereka mendukung bukan karena rekam jejak kandidat, melainkan karena ’’sedekah politik”. Jika dugaan ini benar, berarti kelompok ulama dan lembaga survei telah melakukan pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral keilmuan.
Ingat Pesan Benda
Karena itulah, Julien Benda dalam The Betrayal of the Intellectuals (1980), berpesan agar kaum cendekiawan berhati-hati jika bersinggungan dengan politik kekuasaan. Julien Benda juga mengingatkan agar kaum cendekiawan tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan tatkala bersinggungan dengan politik kekuasaan. Yang tidak boleh hilang dari kaum cendekiawan adalah akhlak. Pesan ini penting agar kaum cendekiawan selalu menjadikan akhlak sebagai panglima dalam bertindak.
Sebagai pemimpin informal, posisi ulama–kiai dan cendekiawan sejatinya diharapkan untuk mengawal proses politik jelang pilpres agar terlaksana secara terhormat. Ulama–kiai dan cendekiawan semestinya memosisikan diri sebagai penjaga akhlak umat dalam berpolitik. Mereka harus menjadi referensi moral bagi semua elite politik. Hal itu berarti mereka harus memainkan tugas utamanya, yakni amar makruf nahi mungkar (memerintah yang baik dan mencegah yang mungkar).
Pembaru muslim Jalaluddin Al-Suyuthi menegaskan pentingnya tugas tersebut bagi ulama. Menurut Al-Suyuthi, tugas amar makruf nahi mungkar tidak boleh dijalankan sembarang orang. Ditegaskannya, hanya ulama dan umara (pemerintah) yang boleh menjalankan tugas tersebut. Ulama memiliki otoritas karena dinilai berilmu dan berkebijaksanaan. Sementara pemerintah memiliki kekuasaan dan aparat. Dengan posisi sentral itulah, ulama dan cendekiawan dapat memainkan peran penting jelang pemilu. (*)
*) BIYANTO, Guru besar UIN Sunan Ampel, sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur