Sekolah Unggulan (Sebuah Catatan Kritis)

Oleh: Amatus Bhela

Membaca atau mendengar  yang namanya Sekolah Unggulan, maka  bayangan kita  adalah ada sebuah ruang lingkup atau kawasan belajar yang elit. Dapat dideskripsikan gedungnya mentereng, taman yang asri, fasilitas belajar yang lengkap dan modern. Pembeda lainnya adalah tenaga pengajar yang qualified, memiliki karyawan/i di setiap lini lingkup sekolah, anak-anak didiknya rata-rata cerdas, dan sebagian besar berasal dari keluarga yang memiliki kemampuan finassial, berstatus sosial kelas menengah ke atas, dan tentu di dalamnya  ada  anak-anak pejabat.

Gambaran di atas memperjelas ada dikotomi antara sekolah unggulan dengan sekolah yang lazim kita lihat dan terkesan apa adanya, baik berstatus negeri maupun dikelola yayasan (swasta).  Apalagi dikomparasi dengan  sekolah yang berada di daerah terpencil dan terabaikan. Sesungguhnya, label sekolah unggulan selama ini bukan merupakan produk  dari kebijakan atau peraturan pemerintah. Sebutan  Sekolah Unggul muncul dari sebuah penilaian dan interpretasi public, ketika ada sekolah, entah swasta atau negeri yang memiliki sarana prasarana dan fasilitas belajar yang amat baik, tenaga pendidik yang kompeten,  ditunjang  manajemen yang professional. Olehnya tidak heran jika sekolah-sekolah seperti ini  dilabeli Sekolah Unggulan. Pengakuan masyarakat atas labeling sekolah unggulan, juga didukung fakta, sekolah bersangkutan mampu melahirkan siswa  berprestasi. Selain itu cukup banyak out putnya berhasil masuk perguruan tinggi negeri maupun swasta yang kredibel. Untuk menjaga marwah sebagai sekolah unggulan, maka tidak heran jika dalam  sistem penerimaan peserta didik baru( PPDB) dilakukan berdasarkan perankingan nilai rapor, ijazah, dan portofolio prestasi calon siswa.  Selain itu dipertimbangkan juga  status sekolah  asal calon siswa.

Dalam masa pemerintahan presiden Prabowo Subianto yang saat ini  memasuki 100 hari kepemimpinannya, muncul isu hangat yang mewacanakan untuk membangun  sekolah unggulan yang dinamakan Sekolah Unggulan Garuda (SUG) di berbagai wilayah Indonesia. Informasi ini tidak disebutkan tingkat satuan pendidikan mana, apakah SMP atau SMA/SMK. Salah satu daerah yang menjadi sasaran program pembangunan SUG adalah kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Diberitakan, akan  ada 40 SUG  tersebar di seluruh Indonesia dan rampung hingga tahun 2029. Untuk pembangunan SUG di TTS bakal dimulai tahun 2025 (poskupang.com.20/1/2025).

Program pembangunan sekolah unggulan seperti disebutkan di atas, awalnya disampaikan oleh menteri pendidikan tinggi (mendikti) Satryo Brojonegoro. (Kompas.com 18/1/2025). Hati  kecil saya bertanya, mengapa program  pembangunan SUG bukan dari otoritas menteri pendidikan dasar dan menengah (mendikdasmen) di bawah kepemimpinan Abdul  Mu’ti? Saya mencoba  mengabaikan pertanyaan konyol ini karena tidak terlalu substantif. Yang jelas bahwa kebijakan tentang SUG bakal diluncurkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) yang merupakan bagian dari program strategis pemerintahan presiden Prabowo pada sektor  pendidikan.

Sebagai warga negara kita tentu sangat mendukung kehendak dan niat baik pemerintah untuk meningkatkan mutu belajar yang berdampak pada mutu lulusan anak didik lewat program yang salah satunya adalah pembangunan 40 satuan pendidikan SUG yang akan menyebar di berbagai wilayah negara kita. Namun ada hal yang patut dikritisi, bahwa pembangunan sektor pendidikan di Indonesia hingga saat ini, masih membutuhkan pemerataan dan pembenahan. Jangankan menilai  kesenjangan antar sekolah berlabel unggulan dengan non-unggulan. Secara kasat mata kita bisa saksikan betapa kontras antar wajah sekolah yang satu dengan yang  lain di sekitar kita. Untuk konteks sekolah negeri, jangankan di wilayah luar kota atau pedesaan dan terpencil, di dalam kota pun ada pembeda. Ada sekolah negeri yang fasilitas belajar lebih baik dan lengkap (gedung,labaratorium, fasilitas  informasi dan teknologi, perpustakaan, dll)  sehingga setiap masa PPDB terjadi penumpukan siswa pada sekolah seperti ini. Sementara sekolah lain justru kekurangan siswa, ujungnya berdampak pada kekurangan  jumlah jam wajib mengajar bagi guru yang berserifikat pendidik. Ini baru salah satu contoh dampak negatifnya.

Bagaimana sistem perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan, pendaftaran siswa, model  kurikulum yang akan diterapkan pada SUG, kita belum tahu.  Semuanya  akan menjadi pasti apabila Inpres dan segala macam petunjuk teknis dan operasionalnya secara legal formal terwujud. Hanya ada bayangan yang dapat diterawang adalah nuansa ketimpangan  antara SUG dan sekolah lain di sekitarnya pasti akan tergambar di sana. Maka tidak heran wacana pembangunan SUG mendapat sorotan negatif. Hal yang menonjol dan bakal terjadi adalah ketidakseimbangan akses terhadap pendidikan di tengah masyarakat sekitarnya.

Dalam kenyataan, kita masih menghadapi permasalahan kesenjangan untuk memperoleh akses pelayanan pendidikan, baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan letak geografis. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pernah merilis, masih ada sekira 3.094.063 anak Indonesia yang tidak sekolah. Jumlah ini cukup besar dan sangat berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Gaung pendidikan inklusif dalam Kurikulum Merdeka selama ini sepatutnya mendapat  prioritas utama. Cita-cita untuk mencerdaskan segenap anak bangsa Indonesia tidak boleh hanya menjadi slogan  yang berbau politis. Pendidikan untuk anak di daerah terpencil dan tertinggal mestinya menjadi perhatian khusus. Bangunan sekolah (ruang belajar) beserta  fasilitas pendukung lainnya  wajib disediakan untuk menjamin kenyamanan belajar anak didik, sehingga tidak ada stigma buruk, bahwa pemerintah hanya memperhatikan masyarakat perkotaan atau yang memiliki akses yang lebih mudah dijangkau. Setuju atau tidak, bagi saya SUG adalah model sekolah eksklusif dengan persepsi bakal tersedia fasilitas terbaik, tenaga guru berkompeten dan penerapan kurikulum yang  lebih maju. Kekhawatiran lain, (semoga tidak terjadi) SGU hanya diperuntukan bagi anak-anak dari kelompok tertentu  yang memiliki kemampuan finansial ekonomi mumpuni, serta status sosial dan kedudukan  yang lebih baik dari masyarakat biasa. Bisa juga karena adanya jaringan ordil (orang dalam).

Persoalan  lain yang patut diantisipasi, jangan sampai muncul polarisasi antara SUG dengan sekolah-sekolah di sekitarnya. Para siswa sekolah unggul merasa diri “lebih” dari siswa yang berasal dari sekolah lain karena labeling “unggul” yang direkat  pada sekolah mereka. Untuk menghindari hal seperti itu, maka perhatian pemerintah pada sekolah   lain patut ditingkatkan, agar tidak ada gap yang menganga lebar antara sekolah unggulan dan satuan pendidikan lain yang ada sekitarnya.

Jika aral tidak melintang, kabupaten TTS nantinya akan memiliki sebuah sekolah unggulan. Kita tidak perlu mempersoalkan tempat di mana sekolah unggulan ini didirikan. Sebagai warga NTT kita patut bersyukur. Namun, hadirnya pembangunan SUG nanti, tidak berarti mengabaikan persoalan  infrastruktur pendidikan  yang menjadi masalah krusial  masyarakat NTT saat ini. Potret sekolah (tempat belajar) yang memprihatinkan, termasuk fasilitas belajar pendukung yang sangat minim harus segera diatasi.

Kita berharap, SUG nantinya menjadi tempat rujukan bagi satuan pendidikan di NTT untuk menimba berbagai pengalaman dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain,  sekolah model ini   mampu memancarkan wajah keunggulannya untuk ditiru oleh satuan pendidikan yang lain. Sebaliknya,  sekolah-sekolah lain pun harus terpenuhi kebutuhan-kebutuhan yang menunjang proses pembelajaran yang efektif dalam penerapan strategi dalam usaha peningkatan budaya mutu, pengembangan pembelajaran yang berorientasi pada kendali mutu, serta selalu menciptakan iklim dan atmosfer sekolah yang kondusif. Apabila situasi ini tercipta maka tujuan sekolah sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional yakni meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut bakal terpatri dalam sanubari anak didik kita. Tidak harus bergantung pada labeling sekolah unggulan. Semoga!

 

*Amatus Bhela, penulis freelancer dan peminat masalah pendidikan. Tinggal di Kupang Barat.

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *