Siang itu, panas matahari di bulan November 2024 terasa menyengat kulit, seolah hendak membakar setiap sudut di dalam kompleks Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, membuat keringat menetes di dahi. Aku menyusuri jalanan menuju kampusku di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undana, tempatku belajar saat ini.
Aku tak perlu berburu dengan waktu, karena perkuliahan baru akan dimulai sejam lagi. Sengaja aku ke sana lebih awal agar bisa beristirahat di kelas nanti.
Saat melewati jalanan, langkahku terhenti melihat seorang anak kecil yang duduk sendirian di bawah rindangnya pohon. Di sampingnya ada keranjang kecil yang penuh dengan jagung goreng dan keripik.
Wajahnya gadis kecil itu tampak tak asing, lalu aku teringat, Ia adalah gadis kecil yang pernah menawarkan jagung goreng padaku dan teman-temanku beberapa waktu lalu saat kami sedang mengerjakan tugas.
Aku ingat, dia adalah gadis ceria yang begitu pandai bicara dan merayu kami untuk membeli dagangannya waktu itu. Jujur saja, aku terkagum dengan caranya berinteraksi dengan kami yang sama sekali tidak dikenalnya.
Kali ini, rasa penasaranku membawaku untuk mendekatinya
“Kaka, beli jagung goreng ko? Ada keripik ju kalo kaka mau. Siang-siang begini makan jagung goreng biar jangan mengantuk,” katanya sambil tersenyum dan menawarkan jajanannya padaku ketika melihat langkahku makin dekat dengannya.
Aku tersenyum balik dan membeli sebungkus jagung goreng setelah itu aku duduk di dekatnya, mencoba memulai percakapan ringan tentang cuaca, sekolah, dan dagangannya.
Butuh beberapa waktu hingga gadis kecil itu akhirnya mulai membuka diri. Awalnya dia terlihat malu-malu, saat aku mengajaknya bercerita. Hanya sesekali suara pelan itu keluar dari mulutnya. Setelah kami berbincang cukup lama, dia mulai akrab denganku, senyumnya lebih lepas, dan ceritanya mengalir seperti air.
Dari percakapan itu, aku tahu namanya Stefani Abi, seorang siswi kelas 6 di SD Bimoku.
Sejak kelas 5, Stefani sudah berkeliling di semua fakultas di Undana untuk menjual jagung goreng dan keripik buatan ibunya.
Ia mengakui, awalnya merasa malu dan takut-takut saat berjualan.
“Awal beta jualan tu rasa malu, agak takut-takut ju. Jadi beta diam sa, nanti itu Kakak dong yang mau beli tu, dong yang panggil, baru beta pi,” ceritanya.
Stefani adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai sopir, sementara ibunya membuka kios kecil di rumah.
Setiap pagi, ibunya bangun lebih awal untuk pergi ke pasar membeli bahan dagangan.
Jagung-jagung itu digoreng sebelum Stefani pulang sekolah. Pulang sekolah pukul setengah dua belas siang, Stefani langsung makan dan mengambil dagangan yang sudah disiapkan oleh ibunya, lalu bergegas menjualnya ke fakultas-fakultas terdekat. Mereka sering berkeliling di beberapa Fakultas yaitu Fakultas Hukum, Kedokteran, dan FISIP. Jika dagangannya belum laku, Ia dan teman-temannya berjalan lebih jauh ke FKIP atau perpustakaan.
Panas terik atau hujan deras tidak menghentikan langkah mereka. Hasil dari penjualan itu dibagi dua dengan ibunya untuk membantu kebutuhan keluarga dan uang jajannya sendiri.
Stefani juga bercerita bahwa Ia sering kali menjadi bahan olokan teman-temannya di sekolah karena keadaannya.
“Kadang dong olok beta, makanya jang miskin,” katanya.
Saat diolok, Stefani hanya diam, menahan perasaannya. Ia sering iri melihat anak-anak lain bermain, namun Ia melawan semuanya itu dan lebih memilih pergi berjualan.
Stefani juga bercerita tentang Diren, salah satu teman laki-laki yang biasanya juga menjual jagung bersama Stefani, yang kini hilang dan belum juga ditemukan hingga saat ini.
Keluarga sudah berusaha mencari keberadaan Diren yang bertetangga dengan Stefani itu, tetapi tidak juga ditemukan.
“Kaka, sebenarnya ketong yang jualan ni ada 6 orang, tapi yang 1 son jual lai. Dia hilang, dia pi jual tapi son pulang-pulang lai. Dia biasa jual di Politeknik, dia jual su malam ju dia son pulang. Su 4 minggu ma belum ketemu ju. Su lapor polisi ma polisi son dapaliat dia. Itu waktu dia pi jual sendiri. Jam 6 tu dia su keluar.”Aku hanya diam mendengarkan cerita Stefani.
Aku dan Stefani menghentikan percakapan kami ketika tiba-tiba, hujan turun mengguyur bumi. Panas yang tadinya terik kini berganti awan awan hitam. Stefani mengajakku duduk di sebuah lopo yang ada dalam kawasan Fakultas Kedokteran. Awalnya aku menolak, karena memang tidak pernah kesana, tapi Stefani meyakinkanku. Tibalah kami berlindung di sana.
Stefani ketika melihat beberapa mahasiswa yang berteduh tak jauh dari kami, sepertinya mereka menunggu hujan deras itu berhenti, ia berteriak, “Kaka, beli b pung jagung ko?”
“Kaka tunggu di sini ee b pi jual, son lama sa. Nanti b kembali, Kaka jangan pulang dolo e.” ucapnya. Aku mengangguk.
Kulihat Stefani tampak akrab dengan mereka, Ia mengenal sebagian dari mereka yang ada di situ. Aku kagum padanya. Gadis kecil yang begitu tangguh.
Ia kembali padaku dengan senyum ceria. Beberapa dagangannya sudah laku.
Aku penasaran tentang mimpi-mimpinya. Aku menatapnya dengan lembut dan bertanya, “Stefani, pung cita-cita apa?”
Dia terdiam sejenak, menunduk. Matanya tampak kosong, seolah pikirannya melayang jauh. Aku hampir mengira dia tidak akan menjawab, tapi akhirnya dia berkata dengan suara pelan, “B pung cita-cita, mau jadi guru, Ka.”
Jawabannya mengejutkanku. Aku tersenyum, mencoba memberinya dorongan. “keren ee, Stefani. Jadi guru itu mulia. Sonde semua bisa jadi guru.”
Saat waktu mulai beranjak sore, aku melihat notif di handphoneku. Teman-temanku memberitahu bahwa dosen sudah ada di kelas. Sungguh, aku harus segera tiba di sana.
Aku memberitahunya bahwa aku harus segera ke Kampus. Tapi ketika aku bangkit, Stefani menahanku. “Cerita dulu, Kak. Nanti baru pulang, palingan itu Pak belum pi, hujan begini ni. Ketong cerita dolo Ka.” pintanya.
Aku menjelaskan padanya bahwa dosen sudah menunggu di kelas.
Dia mengangguk pelan, meski ada sedikit kecewa di matanya. Lalu kami berpisah di situ.
Sejujurnya aku ingin sekali tetap di sana, mendengarkan ceritanya lebih lama. Tetapi sudah ada dosen yang menunggu. Aku berlari menerobos hujan yang masih deras, sementara Stefani masih berteduh di tempat tersebut.
Hari itu, Stefani tidak hanya menceritakan kisah hidupnya. Dia mengajarkanku tentang mimpi, tentang keberanian, dan tentang bagaimana hidup, sesulit apa pun itu, selalu layak diperjuangkan.
Bagaimana tidak anak seusia Stefani biasanya menghabiskan waktu dengan bermain gadget, tetapi berbeda dengan Stefani yang selalu berusaha membagi waktunya untuk mencari uang membantu keluarganya.
Stefani kecil yang begitu tangguh, memendam rasa malu dan gengsi, juga mengorbankan kebutuhan bermain di masa kecilnya, demi ikut meringankan beban ibu dan bapaknya.