Yesus dalam Aliran Kepercayaan Atoin Meto

Oleh: Simon Seffi

Atoin Meto yang mendiami Pulau Timor dan umumnya memiliki fatu kanaf (batu identitas marga) sudah sejak lama memelihara hubungan yang intim dengan alam dan dunia roh.

Jauh sebelum agama modern dikenal, Atoin Meto telah menjalani kehidupan spiritual yang khas, suatu bentuk kepercayaan yang menyatu dengan ritme alam, roh leluhur, dan kesadaran kosmis yang sebenarnya terus diwariskan dari generasi ke generasi melalui laku hidup dan sejumlah ritual rutin tahunan seperti ketika ada kelahiran baru, buka kebun baru, buat rumah baru, berburu, panen dan syukur hasil panen, panen lebah madu, dan sejumlah ritual sejenis yang lain.

Kepercayaan Atoin Meto berakar pada pemahaman bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh manusia, tetapi juga oleh roh-roh yang hidup dan berkuasa, sehingga setiap tempat memiliki kekuatan dan aura spiritualnya sendiri. Gunung dan batu juga menjadi tempat bersemayam roh (atokos fatu bian), begitu juga di pepohonan dan mata air (atokos hau bi bianim atokos oeli bian). Roh-roh tersebut bukan entitas yang jauh, tetapi hadir dan aktif dalam kehidupan sehari-hari, yang selalu membersamai Atoin Meto dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan alam, sehingga ada beragam ritual yang dilakukan sebagai bentuk komunikasi, penghormatan, dan pemeliharaan relasi dengan mereka.

Setiap binatang dan tumbuhan juga memiliki roh penjaga (usi haub, usi mu’it, dan lain-lain) yang menjaga keberadaan dan keseimbangannya sehingga memperlakukan alam dengan hormat adalah kewajiban moral dan spiritual bagi setiap Atoin Meto. Mencari dan membunuh babi hutan, ataupun rusa (dulu) misalnya, bukan sekadar tindakan berburu, tetapi juga sebuah peristiwa spiritual yang memerlukan izin dan rasa tanggung jawab.

Lebah madu misalnya, adalah feto apoi mone (saudari perempuan di luar rumah) yang harus diajak, dibujuk dan dijaga untuk tinggal dan memberi madu melalui sejumlah ritual yang sarat syair-syair arkaik yakni tutu fenug, seik nuku atau seik hu’e no’, dan tateut nisif, serta kesanggupan Atoin Meto untuk menyediakan pup muti am pup molo (bunga tanaman yang mengandung nektar) sebagai makanan bagi saudari perempuannya itu. Setiap perempuan adalah asae fatu kanaf (yang memikul batu marga), simbol kehormatan keluarga, sehingga setiap perempuan sering disapa dengan menyebut nama fatu kanaf, juga setiap bentang wilayah (pah) disebut sebagai perempuan (misalnya bi nonij untuk mengiaskan wilayah Amfoang atau bi timo untuk mengiaskan wilayah Ambenu), adalah contoh yang lain karena bagi Atoin Meto, perempuan dan alam diyakini agung, perlu diperlakukan sama hormatnya seperti saat bersikap dan berinteraksi dengan roh-roh.

Begitu juga ketika menebang pohon untuk keperluan pembuatan rumah, juga merupakan tindakan yang menyentuh dimensi roh sehingga perlu ada ritual, dan juga menunggu petunjuk serta izin roh melalui berbagai cara (a’ takaf) sebagai persetujuan, umumnya melalui mimpi. Sebab pepohonan dan hutan tidak bisa sembarang ditebang begitu saja, karena ada kepentingan dan kebutuhan feto apoi mone yang harus dijaga dan dipenuhi, juga karena roh-roh (atokos fatu bian dan atokos hau bi bianim oeli bian) ada dan bersemayam di situ untuk bersama Atoin Meto menjaga keberlangsungan dan keseimbangan kosmis.

Bagi Atoin Meto, orang tua dan leluhur yang sudah meninggal tidak benar-benar pergi, karena roh mereka tetap hadir di tengah-tengah anak cucu. Roh leluhur bisa memberi tanda, bisa hadir dalam mimpi, bisa mendatangkan peringatan atau petunjuk sehingga penghormatan terhadap orang tua dan leluhur bukan sekadar budaya sopan santun, tetapi keyakinan spiritual yang dalam. Komunikasi dengan roh-roh leluhur dilakukan dalam bentuk upacara adat, doa, atau ritual kecil di rumah. Bagi Atoin Meto, dunia orang hidup dan dunia roh ada dan berdampingan dalam bentuk yang berbeda.

Agama Kristen yang baru hadir dan diterima hampir semua Atoin Meto sekira 50 hingga 100 tahun lalu lantas membawa figur Yesus yang diakui dan dan diyakini sebagai Tuhan. Hadirlah Agama Katolik dan Kristen Protestan yang dianuti hampir semua Atoin Meto. Meski begitu, ada sebagian kecil yang beragama lain, yang tidak meyakini Yesus sebagai Tuhan. Hanya sebagian kecil Atoin Meto yang masih bertahan dengan kepercayaan dan keyakinan asli sebelum Yesus dikenal, biasa diidentifikasi sebagai Halaika.

Sementara itu, ada satu dua Atoin Meto yang bertahan dengan kepercayaan dan keyakinan Halaika, dan juga sekaligus percaya dan meyakini Yesus sebagai Tuhan, tetapi pemahamannya tidak terikat pada dogma-dogma kekristenan. Mereka menempatkan Alkitab sebagai buku biasa yang tidak wajib dibaca, yang berisi kumpulan tulisan yang berkisah dan bersaksi tentang keberadaan Tuhan, yang bahkan isi kitab tertentu juga kadang tidak diminati untuk dibaca karena sarat dengan pemujaan dan pengagungan terhadap keberadaan bangsa Israel. Mereka kadang lucu ketika ada sebagian saudara Atoin Meto-nya mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Israel karena percaya pada Tuhan sesuai penafsiran mereka atas isi teks kitab tertentu. Dalam ibadat hari Minggu, mereka biasanya muak ketika mendengar jemaat dan pimpinan umat secara berbalas-balasan mengucapkan pujian dari kitab tertentu yang isinya merujuk pada chauvinisme Israel.

Sejauh ini, sepengetahuan penulis, belum ada nama yang diberikan untuk kelompok Atoin Meto dengan keyakinan yang demikian. Karena memang mereka sendiri belum mengorganisasikan dirinya, mungkin karena takut jika terorganisir nanti, orientasi aktivitas organisasi kepercayaan bisa jadi hanya diarahkan untuk kebutuhan hidup elit pimpinan yang umumnya tak bisa bekerja untuk memberdayakan dan mengadvokasi kebutuhan anggota, hanya pandai memanipulasi kepentingan mereka seolah itu kebutuhan anggota, sekaligus pandai menjilat pantat kekuasaan demi pragmatisme mereka.

Biar ada nama dan bisa dikenali, penulis mengidentifikasi mereka sebagai Aliran Kepercayaan Atoin Meto. Aliran Kepercayaan Atoin Meto menerima keberadaan Alkitab sebagai kumpulan tulisan penting, tetapi mereka tidak menempatkannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Mereka percaya bahwa Alkitab adalah buku yang ditulis oleh manusia berdasarkan pengalaman dan pengetahuan tentang Tuhan sehingga meskipun dihormati, Alkitab bukan satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan sebab alam, pengalaman hidup, mimpi, bisikan roh leluhur, dan perenungan pribadi juga menjadi alat bagi Tuhan untuk menyatakan keberadaan-Nya.

Bagi Aliran Kepercayaan Atoin Meto, Yesus diyakini sebagai sosok ilahi yang datang ke dunia dalam wujud manusia untuk menunjukkan bahwa manusia bisa menjalani kehidupan rohani secara nyata, yang merendahkan diri menjadi manusia agar manusia bisa melihat, menyentuh, dan mengikuti dalam teladan kesederhanaan, mencintai yang lemah, berdiri melawan ketidakadilan, dan menyapa setiap orang tanpa memandang asal-usul. Yesus menjadi manusia agar bisa menunjukkan langsung bagaimana kehidupan rohani itu dijalani dan kemudian kematian dan kebangkitan Yesus dipahami sebagai bukti nyata bahwa hidup tidak hanya sekedar berakhir di dalam kubur. Jika Yesus tidak datang untuk kemudian mati dan bangkit, kepercayaan dan keyakinan bahwa akan ada kehidupan setelah kematian jadi terasa abstrak. Bagi Aliran Kepercayaan Atoin Meto, keyakinan terhadap Yesus tidak datang dari pengaruh teologis semata, tetapi dari kesaksian para murid Yesus yang hidupnya berubah total setelah hidup bersama dan menyaksikan keberadaan Yesus setelah kebangkitan-Nya. Mustahil, menurut satu dua penganut Aliran Kepercayaan Atoin Meto ini, bahwa begitu banyak orang bersedia mati disiksa dengan cara-cara paling kejam hanya demi mempertahankan sebuah kebohongan jika Yesus tidak pernah bangkit. Aliran Kepercayaan Atoin Meto percaya, justru karena para murid melihat sendiri kehadiran Yesus setelah bangkit, maka mereka tidak ragu untuk menderita dan mati martir demi keyakinan kepada Yesus sebagai Tuhan. Karena itu, penganut Aliran Kepercayaan Atoin Meto cenderung menjadi percaya dan meyakini Yesus sebagai Tuhan dengan rasionalisasi yang demikian.

Penganut aliran Kepercayaan Atoin Meto, sejauh ini, tidak menghadirkan roh-roh atau kekuatan spiritual dalam benda-benda material buatan tangan manusia yang disakralkan sebab roh tetap roh, tidak bisa dikurung atau dikendalikan. Sebab kehadiran roh dan spiritiual bukan sesuatu yang bisa dibatasi atau disimbolkan secara kaku, hubungan dengan dunia roh harus dijaga melalui sikap, bukan hanya simbol atau visualisasi.

Dengan keyakinan yang demikian, Aliran Kepercayaan Atoin Meto melihat Yesus sebagai Tuhan yang bisa dikenali dalam laku hidup sehari-hari, yang hadir bersama atokos fatu bian, atokos haubim oeli bian, usi mu’it, usi pah, usi haub, roh-roh leluhur, dan sejumlah entitas lain yang keberadaannya di bawah kuasa Yesus. Keberadaan entitas roh dalam bayang kuasa Yesus bisa juga dirasakan baik melalui aura spiritual dan magis di balik batu dan pepohonan hutan, ataupun seluruh perisitiwa kosmis yang lain.

Dalam pemahaman Aliran Kepercayaan Atoin Meto, Yesus bukan tokoh dari tempat yang jauh, tetapi Tuhan yang menguasai berbagai entitas roh yang hidup di antara mereka. Aliran Kepercayaan Atoin Meto telah menjadi spiritualitas khas yang sepaket dengan sikap dan perilaku hormat mendalam terhadap alam dan roh leluhur yang telah diwariskan secara turun-temurun melalui berbagai ritual dan praktik hidup, yang sekaligus meyakini Yesus sebagai sosok ilahi bukan melalui pendekatan dogmatik, tetapi sebagai Tuhan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari dan dalam harmoni alam semesta.

 

 

(*Simon Seffi saat ini mengajar di SMAN 2 Fatuleu Barat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *