Politik Identitas dalam Pusaran Pilkada di NTT

Oleh: Gusty Aryanto Haupunu*

27 November akan menjadi sejarah dalam perhelatan politik praktis di Indonesia. Dalam Catatan, total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Dengan adanya pilkada serentak tersebut tentu ada berbagai macam cara, metode dan strategi yang dilakukan oleh setiap kandidat untuk menang dalam pemilihan nanti. Cara, metode, dan strategi dari setiap kandidat juga berbeda-beda, dan masing-masing kandidat akan menentukan cara kerjanya sendiri untuk menarik perhatian publik terlebih khusus menarik hati konstituennya dalam menentukan pilihan.

Dalam pelaksanaan tahapan awal menuju Pilkada, Pileg dan Pilpres ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan menjelang pesta demokrasi. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat (1) mengatur 10 larangan kampanye bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye diantaranya:
1. Mempersoalkan dasar negara Pancasila, pembukaan UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
5. Mengganggu ketertiban umum
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain;
7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
8. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu;
10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.

Sepuluh larangan tersebut dimaksudkan agar tahapan-tahapan menuju pesta demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan baik, bermartabat dan berkualitas.

Perhelatan Pilkada serentak di NTT Tinggal menghitung hari. Kampanye politik dari setiap kandidat Calon kepala daerah di 22 kabupaten/Kota di NTT akan digelar.
Menjelang kampanye, masing-masing kandidat dan timses (Tim Sukses) sudah mempersiapkan cara, metode dan strategi mereka untuk dikampanyekan ke Publik. Visi-Misi yang menjadi jargon kemenangan dari setiap kandidat telah dikemas menjadi baik untuk dipresentasikan.

Tentu dalam tahapan ini, kita bertanya apakah pelaksanaan Kampanye Visi Misi dari setiap kandidat dalam pilkada serentak di NTT para kandidat bersama timsesnya dapat memegang amanat undang-undang yang berlaku sehingga pelaksanaan tahapan pilkada dapat berjalan dengan baik dan bermartabat? Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mengamati secara langsung pelaksanaan Kampanye di lapangan.

Sejak KPUD Membuka pendaftaran Bakal Calon Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-wakil dan Walikota-Wakil Walikota kampanye politik untuk memenangkan kandidat sudah berjalan. Di lapangan dan media sosial (Medsos), timses ramai mengkampanyekan jagoannya. Dari kampanye tersebut, ternyata politik identitas masih menjadi andalan Tim Sukses, relawan dan simpatisan dari setiap kandidat di NTT. Apalagi dalam satu kabupaten/kota ada calon Kandidat yang memiliki latar belakang suku/identitas yang berbeda dengan mayoritas warga kabupaten tersebut.

Di tingkat Provinsi juga demikian, meski politik identitas cenderung tidak terlalu dimainkan secara masif mengingat Calon Gubernur-Wakil Gubernur merupakan representasi dari setiap daerah di NTT. Cara memainkan politik Identitas dari para Tim sukses, relawan dan simpatisan, melalui kantong-kantong daerah yang memiliki kesamaan identitas dengan calon Gubernur-Wakil Gubernur.

Tentu dalam kondisi ini, sebagian kita tidak ingin politik identitas dipertontonkan dan diajarkan kepada pemberi mandat. Sebab dengan adanya politik identitas maka karakter masyarakat yang selalu hidup berdampingan dengan semua Suku, Agama dan Ras akan berubah menjadi Masyarakat yang individual.

Pada konteks ini semestinya kita perlu belajar dari cara berpolitik dari seorang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat memenangi Pilkada Kabupaten Belitung Timur tahun 2004 dan berlanjut menjadi wakil gubernur di DKI Jakarta. Sepatutnya ada pembelajaran etika yang perlu diperhatikan dalam dunia politik. Namun kenyataannya tidak. Politik identitas yang sejatinya telah melanggar amanat konstitusi ternyata sulit dihentikan oleh pemangku kepentingan.

Di Pilkada serentak tahun 2024, politik identitas cenderung masih menjadi pilihan terbaik dalam meraup suara. Politik identitas dipandang efektif dari setiap kandidat dan timsesnya karena dilihat dari latarbelakang Sumber Daya Manusia (SDM) di NTT. Kemudian dengan menjalankan politik identitas para kandidat dan timsesnya tidak begitu mengeluarkan energi mereka dalam mengajak masyarakat untuk memilih mereka. Artinya politik identitas ini dapat memudahkan para kandidat dan timsesnya saat berkampanye.

Politik identitas di NTT dilakukan secara terselubung dan penuh rahasia sehingga sulit ditangani pemangku kepentingan. Bila politik identitas dimainkan melalui medsos, maka caranya dengan menggunakan akun palsu atau anonim di setiap grup. Inilah yang tidak dapat dihentikan oleh penegak hukum.

Bila politik identitas tidak dapat ditanggulangi oleh pihak berwajib maka dipastikan pesta demokrasi yang menelan triliunan rupiah untuk menghadirkan pemimpin yang berkualitas hanya slogan semata. Karena orang-orang dengan kualitas kepemimpinan yang tinggi dan rekam jejak yang baik pasti tidak akan terpilih, sebab jumlah pemilih dengan latarbelakang pendidikan menengah kebawah lebih banyak daripada jumlah pemilih dengan latarbelakang pendidikan yang baik.

Untuk itu, dengan melihat bahwa politik identitas merupakan bentuk politik yang memecah belah persatuan bangsa, merusak karakter masyarakat, merendahkan kualitas berpikir kritis masyarakat dan mencederai kualitas demokrasi, maka memerangi politik identitas harus dilakukan secara bersama-sama, masif dan terstruktur, terlebih khusus peran ekstra dari dunia pendidikan. Karena bagi saya, dunia pendidikanlah yang dapat menyelamatkan Bangsa Indonesia dari praktek politik identitas.

Bila dunia pendidikan mengaktifkan fungsi mereka dalam mengontrol semua pelaksanaan politik di setiap daerah maka segala kepentingan politik identitas dapat diruntuhkan dengan kekuatan argumentasi ilmiah. Dengan demikian maka politik identitas tidak akan mendapat ruang dalam kehidupan masyarakat dan akhirnya politik rasional lah yang akan digunakan sebagai basis politik di setiap daerah.

 

 

*Penulis adalah guru di SMAN 1 Amfoang Barat Laut.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *