Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) merupakan salah satu produk hukum yang bertujuan untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah menjamin terpenuhinya hak-hak anak, seperti hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dari kekerasan: fisik, psikis, seksual, eksploitasi dan partisipasi dalam kehidupan sosial, serta penelantaran. Pada mereka ada jaminan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban, pelaku, maupun saksi dalam proses hukum serta mendorong peran keluarga, masyarakat, dan negara dalam melindungi dan mendidik anak. Kehadiran produk hukum ini merupakan bentuk komitmen negara dalam menjamin hak-hak anak dalam segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan. UUPA menjadi tonggak penting dalam menjamin tumbuh kembang anak secara optimal.
Dalam dunia pendidikan, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 ini memberikan dampak yang sangat signifikan. Mengapa? Ia memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan perlindungan yang seutuhnya kepada anak dalam berbagai bidang. Seperti yang kita ketahui bahwa anak sebagai generasi penerus dan masa depan bangsa, maka sudah sepantasnya anak mendapatkan pendidikan yang layak dan bermartabat tanpa merasa tertekan. Oleh karena itu pendidikan yang nyaman harus diterapkan dalam kehidupan anak. Tuntutan kepada para pendidik terlihat pada undang-undang ini yajkni menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, ramah, dan bebas dari segala bentuk kekerasan baik secara verbal, fisik, maupun psikis. Kesadaran pendidik dan institusi pendidikan untuk memperlakukan anak secara manusiawi dan edukatif harus terus dikembangkan demi mendapatkan lingkunga belajar yang kondusif.
UUPA sudah terlihat menarik dan memberikan jaminan yang sedemikian baiknya, namun dalam penerapannya di dunia pendidikan UU ini telah menyimpan dilema yang kompleks ibarat pedang bermata dua. Banyak guru menjadi takut untuk mendisiplinkan siswa. Mereka khawatir dilaporkan sebagai pelaku kekerasan yang disebabkna karena ketidakseimbangan antara hak anak dan kewajiban anak yang tidak ditegaskan secara proporsional dalam UU tersebut. Sebagai contoh meningkatnya kasus pelaporan guru oleh siswa dan orang tua meskipun tindakan guru bersifat mendidik (edukatif) dan bukan kekerasan. Hal ini terjadi karena dalam UU ini tidak memberi penjelasan yang rinci sebagai pedoman implementatif tentang item mana dan apa saja yang termasuk kekerasan dan apa saja yang merupakan tindakan disiplin. Akibatnya undang-undang ini sering disalahgunakan oleh anak sebagai siswa/peserta didik atau orang tua untuk melemahkan otoritas guru.
Guru menjadi takut dalam menegakkan kedisiplinan di area kewajibannya sebagai pendidik, karena ada kekhawatiran terhadap pelaporan atas tindakan mendisiplinkan yang disalahartikan sebagai kekerasan. Selain itu guru juga merasa dibatasi dan tidak leluasa menjalankan perannya sebagai pendidik. Salah satu penyebab terbesar dari permasalahan ini yakni anak dan orang tua menggunakannya untuk menghindari konsekuensi dari pelanggaran aturan sekolah. Akibatnya otoritas guru bagai sedang dalam proses pelemahan, hubungan guru-murid menjadi tidak berimbang, maka terjadi dis-harmoni.
Kasus tindakan penegakan disiplin yang dianggap sebagai tindakan kekerasan bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Beberapa tahun terakhir muncul berbagai kasus. Guru dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa atau keluarga. Salah satunya terjadi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Seorang guru honorer ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena dituduh memukul muridnya. Meski sang guru membantah, ia tetap harus menghadapi proses hukum dan tekanan mental yang berat. (Kompas.id, 2024). Di Gresik, seorang guru SD juga berhadapan dengan pihak berwajib setelah menampar siswa yang dinilai tidak disiplin. Orang tuanya melaporkan dan jadilah guru tersebut harus menjadi pesakitan sebagai konsekuensi dari penerapan aturan ketertiban dan kedisiplinan di lingkungan sekolah. Beberapa laporan menyebut tindakan guru tersebut sebagai “kekerasan terhadap anak”, tanpa melihat konteks dan niat pendidik.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur tak luput dari fenomena tersebut meski dengan konteks yang berbeda. Pada Maret 2020 tiga orang siswa kelas XII di Fatule’u Kabupaten Kupang melakukan tindakan kekerasan terhadap gurunya karena diperingatkan untuk mengisi daftar hadir (Liputan6.com,2020). Pada Maret 2025 seorang guru di Kota Kupang mendapatkan tindakan kekerasan dari siswa sendiri karena guru menegur agar tidak melintas area persiapan pelaksanaan ujian tengah semester. (Obortimur.com, 2025).
Meskipun kasus ini akhirnya diselesaikan oleh polisi namun menyisakan pertanyaan. Begitu beraninyakah peserta didik (siswa) melakukan tindakan kekerasan terhadap gurunya? Mungkinkah tindakan kriminalisasi terhadap guru dalam kaitannya dengan UU ini merupakan konsekuensi dari pemahaman yang tidak seimbang atau disalahartikan terhadap hak dan perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang tersebut? Suatu refleksi panjang dan mendalam pada ranah pendidikan untuk menjawab persoalan ini.
Guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya merasa khawatir atau bahkan secara berlebihan dapat disebutkan sebagai sedang berada di kantong hantu yang bakal menjerat secara hukum. Guru resah bila proses ranah tugasnya mengajar dan mendidik terpasang jerat. Ketika mengujarkan nasihat dan peringatan dengan nada suara “keras” asumsi yang lahir pada peserta didik dan orang tua yakni kekerasan verbal. Ketika memberi tangan untuk menjewer saja sekadar mengingatkan sebagai “orang tua” di sekolah, justru hal itu menjadi alasan kuat bahwa telah terjadi kekerasan fisik. Maka, penegakan aturan ketertiban dan kedisiplinan di dalam lingkungan sekolah menjadi rancu. Akibatnya sebagian guru enggan mengambil tindakan “tegas”. Otoritas guru melemah. Siswa kehilangan sosok pembimbing yang dapat menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, ketaatan dan ketertiban. Selain itu guru enggan memberikan diri seutuhnya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar (knowledge transfering) dan berefek pada ketertinggalan peseta didik dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Bila mencermati secara bijak rasanya UUPA sedang disalahgunakan oleh orang tua untuk “mengancam” sekolah apabila tidak puas dengan pendekatan pengajaran dan penegakan aturan ketertiban dan kedisiplinan. Hubungan antara sekolah dan orangtua/wali murid pun menjadi renggang, tidak lagi dilandasi kepercayaan dan saling pengertian.
Ironisnya, perlindungan hukum terhadap guru masih sangat lemah. Tuduhan dilayangkan, proses hukum berjalan meskipun bukti tidak selalu kuat. Guru yang selama ini menjadi pilar utama pendidikan justru menjadi pihak yang rentan. Beban psikologis meningkat, semangat mengajar menurun, dan kualitas pendidikan pun terdampak.
Merujuk pada uraian ini maka perlu adanya pendekatan yang lebih adil dan proporsional. Pemerintah dan lembaga hukum perlu mempertimbangkan untuk meninjau kembali implementasi UUPA dalam konteks pendidikan. Revisi atau penyesuaian penting dilakukan agar tidak menimbulkan ketimpangan perlindungan. Guru harus mendapatkan ruang untuk menjalankan perannya secara optimal, selama dalam batas wajar dan edukatif. Selain itu, kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan pemerintah untuk membentuk persepsi yang tepat tentang perlindungan anak menjadi sesuatu yang sangat penting. Pendekatan restorative justice, seperti yang didukung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, juga bisa menjadi solusi agar konflik antara guru dan orang tua dapat diselesaikan secara musyawarah sebelum masuk ke ranah hukum. (Merahputih.com, 2024)
UU Perlindungan Anak tetaplah penting dan harus ditegakkan. Undang- undang ini memberikan jaminan terhadap hak anak namun harus menjadi perhatian khusus dari pengambil kebijakan dan pembuat undang-undang agar tidak membatasi peran pendidik dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada anak. Keseimbangan antara perlindungan dan pendidikan harus diperhatikan agar tujuan pembentukan karakter anak tetap tercapai tanpa mengorbankan hak siapa pun sebab pendidikan yang sehat, mendidik, dan berkarakter akan terwujud jika guru merasa aman menjalankan tugasnya, dan siswa terlindungi tanpa menjadi “kebal” dari pembinaan.
Penulis: Rida Nahak
Guru SMP Negeri 1 Sulamu dan Sekretaris Asosiasi Guru Penulis Indonesia Cab. Kab. Kupang
Editor: Heronimus Bani