Di mana tidak ada pergumulan, di situ tidak ada kekuatan.
Kursi-kursi di sekitar kami mulai kosong. Piring-piring dan gelas sisa pengunjung malam ini perlahan dibawa menuju ke dapur belakang kafe. Sore sudah berlalu kini malam mulai menjelang. Suasana malam ini memang terlihat sepi. Entah kenapa saat malam tiba tak banyak pengunjung yang datang. Sudah hampir lima belas kali datang ke kafe ini situasi pada malam hari pasti terlihat sepi. Kafe ini tampak ramai pada saat sore hari sekitar jam empat hingga lima. Setelah itu mulai sepi.
Aku dan Nasita senang bila berkunjung di kafe ini pada saat jam menunjuk pukul setengah tujuh malam. Malam itu hanya menyisakan kami berdua. Kesunyian malam itu dihiasi dengan langkah-langkah kaki anak-anak jalanan yang bersliweran melewati kafe itu. Ada juga dua kucing-kucing sekedar melewati kafe tempat aku dan Nasita menikmati waktu berdua. Sungguh kesunyian malam itu diwarnai dengan makhluk-makhluk yang tak pernah aku duga.
Tak jauh dari tempat aku dan Nasita duduk ada suara air yang mengalir. Selain itu ada juga suara perkakas makan yang sedang dicuci. Suara-suara itu menemani aku ketika menikmati secangkir kopi. Sedangkan waktu itu Nasita hanya memandang aku sedang menikmati secangkir kopi.
Nasita adalah satu-satunya wanita yang selalu ada di hatiku. Hanya Nasita yang mampu membuat rasa sayangku tak bisa berubah. Hanya Nasita wanita yang membuat aku berubah menjadi laki-laki lebih baik. Tak ada wanita lain. Di dalam perjalanan hidupku baru aku melihat kecantikannya dari dalam.
Memang sebelum Nasita ada dua wanita yang pernah menghampiri hidupku. Tapi baru Nasita yang membuat aku tak hanya jatuh cinta. Melihat Nasita aku banyak belajar artinya hidup. Belajar untuk mempergunakan waktu dengan baik. Belajar untuk menggunakan potensi dengan baik. Kehadiran Nasita di hidupku bukan suatu kebetulan. Jika Nasita ada di hidupku itu pasti karena Tuhan. Ya Tuhan yang mempertemukan. Tuhan yang membuka pintu untuk aku bertemu dengan Nasita.
Malam ini di depanku ada Nasita. Aku ingin bertanya pada Nasita sesuatu yang penting. Sudah tiga tahun aku berpacaran dengan Nasita. Aku ingin hubungan yang lebih dari itu. Aku menginginkan bisa menikah dengannya.
“Aku ingin segera menikah denganmu Nasita. Malam ini tinggal berdua. Kamu ada di depanku. Hanya kamu yang ada di hatiku. Hanya kamu wanita yang merubah hidupku. Hanya kamu yang ada di pikiranku.”
“Ya Mas Galang aku mengerti yang ada di pikiranmu. Aku tau kamu sungguh mencintaiku. Tapi aku belum bisa menjawabnya hari ini. Masih ada banyak rencana setelah aku lulus kuliah nanti. Aku masih ingin bekerja. Aku ingin mas Galang sabar menunggu.”
“Iya Nasita, Mas Galang mau belajar setia. Setia menunggu waktu terbaik.”
*
Dua minggu sejak bertemu dengan Nasita aku lebih banyak waktu untuk fokus bekerja sebagai tukang ojek dan usaha warung makan soto seger. Pekerjaan yang aku lakukan ini bertahan selama delapan tahun. Bersyukur dengan dua pekerjaan ini bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah kedua adikku. Memang sejak kedua orang tuaku meninggalkan kami anak-anaknya di rumah, keadaan mulai berubah. Aku belajar untuk mandiri di usia yang ke 20 tahun. Sementara itu adik-adikku mulai serius belajar di sekolah.
Kedua orangtuaku meninggalkan rumah dengan alasan bahwa tak bisa mendidik dan membiayai hidup kami lagi. Selain itu kondisi bahwa kami adalah anak hasil di luar nikah membuat mereka akhirnya malu. Empat tahun lalu ayah bercerai dengan ibu dan bekerja di luar kota Salatiga. Ayahku bekerja sebagai cleaning service SD Negeri Pekunden yang letaknya di daerah Jl Taman Pekunden kota Semarang. Sementara Ibuku kembali ke desa berkumpul dengan saudara kandung dan ayahnya di daerah Desa Kopeng Kecamatan Getasan. Sebelum pergi mereka pamit dengan anak-anak secara baik-baik.
Bersyukur aku bertemu Nasita. Sejak Nasita jadi kekasihku banyak perubahan terjadi. Aku yang dulunya malu dan minder semakin menjadi lebih percaya diri. Aku yang kadang pantang menyerah menghadapi tantangan kini semakin semangat. Aku sungguh tak mengira Nasita yang melalui hidupnya sebagai mahasiswa tak merasa malu menjadi kekasihku. Nasita bisa menerima kondisiku. Ketika Nasita sudah jarang bertemu denganku selalu kuingat kata-katanya yang memberi semangat.
“Mas Galang di mana tidak ada pergumulan, di situ tidak ada kekuatan. Semua pergumulan hidup itu diijinkan Tuhan terjadi untuk menjadikanmu semakin lebih kuat. Aku percaya Mas Galang adalah orang yang bisa kuat melewati semua bersama Tuhan. Aku percaya Mas Galang adalah orang yang gigih. Sudah delapan tahun Mas Galang bertahan menjadi tukang ojek dan usaha soto seger di depan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Itu artinya Mas Galang orang yang kuat dan gigih. Tetap semangat!” ucapan Nasita yang selalu mendukung terekam kuat dalam ingatanku. Aku bangga memiliki Nasita.
Waktu-waktu yang aku lalui memang terasa begitu panjang saat menghadapi berbagai pergumulan. Banyak hal yang kadang kutemui dalam hidup tak seindah yang diharapkan. Tapi aku belajar percaya akan rencana Tuhan pasti terbaik. Rencana Tuhan tidak ada yang buruk untuk orang-orang yang hidupnya selalu menabur kebaikan. Tuhan tahu kebutuhanku dan Ia juga pasti tepat memberikan pada waktunya. Bagiku suatu pemberian terbaik dari Tuhan bisa bertemu dengan Nasita. Kehadiran Nasita bagai oase.
*
Setelah enam bulan berlalu akhirnya Nasita mengajak bertemu di kafe yang biasa kami ngobrol. Nasita ingin membicarakan tentang hubungan kami. Nasita ingin menyatakan isi hatinya.
“Mas Galang sudah lama kita berpacaran. Mas Galang juga menghendaki hubungan yang serius. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk Mas Galang mendengar semua keputusanku. Setelah lama kita berpacaran aku berpikir bahwa untuk sementara tak berjumpa dulu. Setelah selesai kuliah ini aku akan bekerja paruh waktu dulu di Yayasan Rumah Pemulihan Efata. Dua minggu lagi aku diwisuda. Dan dua minggunya lagi aku sudah bekerja di Yayasan itu.”
“Oh iya Nasita. Katamu dulu pernah punya rencana ingin menjadi Guru BK setelah menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi UKSW.”
“Iya Mas Galang aku pernah berencana seperti itu. Tapi keputusanku berubah. Aku ingin kerja paruh waktu dulu di Yayasan Rumah Pemulihan Efata. Aku ingin jadi konselor di tempat itu selama kurang lebih empat tahun. Jadi Mas Galang aku harap sabar menunggu untuk keputusan hubungan kita selanjutnya. Aku yakin di balik semua keputusan ini ada rencana Tuhan yang jauh lebih baik.“
“Iya Nasita. Mas Galang memang harus belajar menunggu dan sabar. Mas Galang pasti tak akan melupakan Nasita. Mas Galang selalu doakan Nasita.”
Keputusan Nasita untuk bekerja lebih dulu dalam jangka waktu lebih lama tetap aku terima. Aku mendukung Nasita sebagai kekasihku. Meski memang aku harus lebih bersabar menunggu Nasita. Demi masa depan yang terbaik Nasita.
*Biodata Penulis
Devita Andriyani, seorang wanita yang sudah jatuh hati dengan dunia kepenulisan sejak duduk di bangku SMA. Lahir di Salatiga, 6 Desember 1985. Hari-harinya dilalui dengan membaca cerita-cerita fiksi di media. Minatnya pada dunia kepenulisan membuahkan beberapa karya berupa cerpen yang pernah dipublish di media. Beberapa karyanya pernah dipublish beberapa media seperti : modernis.co, pratamamedia.com, penfighters.com, inspirasipagi.id, dimensipers.com. Untuk mengasah kemampuan menulisnya saat ini penulis tergabung dalam Komunitas Penulis Ambarawa (Penarawa). Penulis bisa dihubungi melalui email: eunikedevita@gmail.com